Menanggapi hal ini, Achmad berpendapat bahwa efisiensi anggaran infrastruktur dapat menjadi peluang bagi pemerintahan Prabowo-Gibran untuk lebih fokus pada peningkatan daya beli masyarakat kelas menengah serta penciptaan lapangan kerja.
Menurutnya, proyek infrastruktur berskala besar tidak selalu memberikan dampak langsung terhadap kesempatan kerja bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Oleh karena itu, alih-alih terus mendorong proyek-proyek infrastruktur besar yang membutuhkan investasi jangka panjang, pemerintah disarankan untuk mengalihkan fokus ke sektor-sektor yang dapat memberikan dampak ekonomi lebih cepat.
Selain itu, Achmad menekankan pentingnya program yang mendorong daya beli masyarakat, seperti subsidi energi, bantuan untuk UMKM, dan insentif bagi industri padat karya. Program-program ini dinilai perlu menjadi prioritas guna menjaga stabilitas ekonomi domestik di tengah ketidakpastian global.
Meskipun pembangunan infrastruktur tetap penting, Achmad menegaskan bahwa prioritasnya harus berorientasi pada kesejahteraan masyarakat luas, bukan hanya menguntungkan investor atau kelompok ekonomi tertentu.
“Infrastruktur yang inklusif seperti jalan umum gratis, angkutan massal murah, serta fasilitas pendidikan dan kesehatan, harus lebih diutamakan dibandingkan proyek komersial seperti jalan tol berbayar,” jelasnya.
Dalam satu dekade terakhir, belanja infrastruktur Indonesia lebih banyak dialokasikan untuk proyek jalan tol dan PSN. Data menunjukkan bahwa bidang Bina Marga, yang bertanggung jawab atas pembangunan jalan dan jembatan, memperoleh alokasi terbesar, yaitu 44,01 persen dari total anggaran infrastruktur.
Sebaliknya, sektor-sektor yang lebih esensial bagi kesejahteraan rakyat kecil, seperti sanitasi, air bersih, dan perumahan rakyat, hanya mendapat sekitar 24,5 persen dari total anggaran.
Load more