Sleman, DIY - Investasi bodong menjadi topik pembicaraan hangat di Indonesia dalam beberapa hari terakhir. Banyak orang menjadi korban investasi ilegal dengan kerugian yang tidak sedikit.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga Februari 2022, kerugian masyarakat akibat investasi bodong selama sepuluh tahun terakhir mencapai Rp 117,4 triliun. Lalu bagaimana cara agar kita tidak menjadi korban investasi abal-abal tersebut?
Pengamat perbankan, keuangan dan investasi Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM Eddy Junarsin mengatakan ada dua cara untuk mengenali apakah investasi tersebut legal atau ilegal.
"Kata kuncinya itu 2 L. Legal dan logis. Ketika akan berinvestasi kita harus melihat perusahaan atau aplikasinya legal atau tidak. Lalu logis. Kita bisa menilai tingkat kewajaran. Jika menawarkan keuntungan hingga 200 persen per bulan misalnya tentu itu tidak logis," ujarnya dalam keterangan resmi UGM, Jumat (18/3/2022) malam.
Eddy menjelaskan, tidak ada bisnis atau investasi yang mampu memberikan keuntungan berlipat-lipat. Oleh karenanya masyarakat harus lebih waspada terhadap berbagai tawaran bisnis investasi yang menawarkan profit menggiurkan dalam waktu singkat.
Menurut Eddy, tips 2 L itu tidak hanya berlaku untuk masyarakat yang berniat menjadi investor. Namun juga berlaku bagi afiliator ataupun influencer yang ingin mempromosikan sebuah bisnis investasi.
"Dari sisi investor dan afiliator (harus) membiasakan berpikir lebih logis dan diteliti dulu," sebutnya.
Eddy meminta masyarakat yang ingin berinvestasi untuk membiasakan mendalami profil perusahaan penyedia aplikasi. Tujuannya agar masyarakat tidak terjebak pada investasi bodong atau bisnis yang tidak berizin.
"Cari tahu ini apa jualannya, apakah legal atau tidak, lalu pengalaman orang yang sudah investasi seperti apa," ungkapnya.
Terkait kasus aplikasi Binomo yang menyeret dua orang influencer, Eddy menyebut tidak sepenuhnya salah aplikasi tersebut. Sebab aplikasi Binomo tersebut dibuat dan juga beroperasi di negara luar yang melegalkan perjudian.
Sedangkan di Indonesia sendiri melarang adanya aplikasi perjudian. Di sisi lain, pemerintah dalam hal ini OJK serta Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi) selaku regulator dan pengawas juga dinilai lemah dalam pengawasan.
"Sosialisasi dan panduan kurang, belum sampai menjangkau masyarakat bawah," terang Eddy.
Lebih lanjut Eddy menjelaskan, para korban investasi bodong umumnya memiliki latar belakang yang berbeda. Ada sebagian masyarakat yang mengetahui bahwa investasi itu bersifat gambling.
Namun ada juga korban yang tidak tahu dan sekedar ikut-ikutan karena disosialisasikan oleh influencer.
"Ada yang tahu. Ada juga yang tidak tahu tapi ikut-ikutan influencer muda dan kaya. Tapi memang ada investor pengen gambling namun jika kalah marah," bebernya.
Sebagai salah satu solusi agar kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari, Eddy berharap pemerintah bertindak tegas. OJK dan Bappebti harus menertibkan aplikasi dan influencer investasi tidak berizin yang beredar di dunia maya agar tidak merugikan masyarakat. (Andri Prasetiyo/act)
Load more