Bali - Di tengah upaya pemulihan ekonomi sebagai dampak dari pandemi COVID-19, dunia saat ini dihadapkan dengan masalah geopolitik konflik Rusia-Ukraina serta inflasi yang melonjak di beberapa negara.
“Semua itu memperparah tekanan ekonomi dan politik global,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam diskusi Sustainable Finance for Climate Transition Roundtable yang merupakan rangkaian agenda Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) G20 di Bali, Kamis (14/7/2022)
Menurut Sri Mulyani Rusia adalah negara pemasok minyak mentah terbesar kedua di dunia sehingga ketika terjadi perang harga minyak dunia langsung melonjak berkali-kali lipat dan menyebabkan krisis energi di mana-mana.
Begitu pun peran Ukraina yang tidak kalah penting dalam perdagangan dunia karena merupakan salah satu pemasok gandum terbesar di dunia. "Jadi paling terlihat dampaknya pada krisis energi dan makanan," kata Sri Mulyani.
Perang tersebut juga mengakibatkan kenaikan harga komoditas internasional, seperti batu bara, bauksit, nikel, hingga minyak kelapa sawit. Indonesia mungkin salah satu yang beruntung sebab komoditas tersebut ekspor andalan. Penerimaan negara meningkat drastis akibat hal tersebut. "Tapi anggaran kami menanggung beban subsidi yang sangat besar untuk bahan bakar," imbuhnya.
Bagi negara lain yang tidak memiliki kemampuan untuk subsidi maka risikonya adalah dibebankan ke masyarakat. Tak heran apabila inflasi banyak negara melesat dan mengantarkan mereka ke jurang resesi. "Kami juga melihat tantangan dalam menangani inflasi adalah salah satu yang paling penting dalam pertemuan G20," kata Sri Mulyani.
Pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral ini, merupakan yang ketiga kali
sebelum pertemuan puncak KTT G20 di Nusa Dua, November mendatang. Pertemuan pertama dilakukan di Jakarta pada 17-18 Februari lalu di Jakarta. Sedangkan pertemuan kedua diadakan di Washoington DC, Amerika Serikat pada 20 April lalu.
Beberapa poin yang diasilkan dalam pertemuan sebelumnya adalah, G20 akan mendorong penyelesaian utang-utang negara miskin dan berkembang melalui adopsi kerangka kerja bersama. Kemudian negara G20 akan memastikan implementasi global yang cepat dari paket perpajakan internasional dua pilar G20/OECD. Anggota G20 sepakat mengembangkan model dan instrumen multilateral untuk memastikan aturan baru dapat berlaku di tingkat global pada tahun 2023.
Ada pula pembahasan upaya global dan regional untuk meningkatkan mobilisasi sumber daya domestik di negara-negara berkembang melalui bantuan teknis dan peningkatan kapasitas. Kemudian komitmen mengupayakan revitalisasi investasi infrastruktur dengan cara yang berkelanjutan, inklusif, mudah diakses, dan terjangkau, terutama melalui peningkatan keterlibatan sektor swasta.
Mobilisasi investasi infrastruktur juga dilakukan untuk meningkatkan inklusi sosial dan mengatasi kesenjangan antar wilayah. Anggota G20 uga sepakat mendorong upaya peningkatan infrastruktur digital dan investasi InfraTech untuk mempersempit kesenjangan digital.
Kemudian G20 pun mendorong bauran kebijakan menuju netralitas karbon dan net zero emission. Untuk mendukung stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, G20 berkomitmen menerapkan kebijakan yang terkalibrasi, terencana, dan dikomunikasikan dengan baik dalam rangka normalisasi kebijakan terkait pandemi dan mengatasi dampak jangka panjang dari pandemi (scarring effect).
G20 juga mendorong upaya untuk memperkuat sektor keuangan global dan mengatasi dampak dari pandemi terhadap sektor keuangan. Juga pengelolaan risiko danpengoptimalam manfaat dari adanya teknologi dan digitalisasi di sektor keuangan. (rul/ner)
Load more