Jakarta - Indonesia mendorong dunia khususnya negara anggota G20 mengelola ekosistem blue carbon (karbon biru) secara berkelanjutan. Dalam jangka panjang, penyerapan dan penyimpanan karbon yang baik dan terjaga akan membantu upaya mengurangi dampak perubahan iklim.
Demikian dikatakan Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), J. Rizal Primana, dalam Seminar, Blue Carbon: Enabling Conservation and Financial Capital di Nusa Dua Convention Centre, Bali, Senin (8/8/2022).
Potensi karbon biru di Indonesia mencapai 3.4 Giga Ton (GT) atau sekitar 17% dari karbon biru dunia. Sebarannya ada di ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, hutan bakau, padang lamun dan lahan gambut di kawasan pesisir. Ekosistem pesisir ini dapat membantu penyerapan emisi karbon yang di atmosfer dan lautan, kemudian menyimpannya pada daun, batang, cabang, akar, serta sedimen yang mendasarinya.
Rizal mengatakan tata kelola ruang dan konservasi pesisir di Indonesia menitikberatkan perencanaanya sesuai dengan prinsip berkelanjutan, agar ekosistem karbon biru berkontribusi lebih banyak dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).
Jika pengelolaannya terus dikuatkan dengan adaptasi dan mitigasi menuju ketahanan iklim, Indonesia pasti diyakini akan berkontribusi lebih banyak dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga sebesar 29 persen secara nasional, dan 41 persen secara global hingga 2030.
Rizal pun menekankan jika kini saatnya ekosistem ini menjadi prioritas utama dalam perencanaan tata kelola ruang dan konservasi pesisir di Indonesia maupun global. Apalagi, mangrove dan padang lamun dapat menyerap dan menyimpan karbon alami (carbon sink) yang sangat besar dalam waktu yang sangat lama, bahkan lebih banyak dari hutan terestrial.
Menjaga kelestarian ekosistem pesisir baik hutan mangrove maupun padang lamun, dapat memberi manfaat untuk mencegah erosi, melindungi perumahan warga ketika pasang surut, badai dan banjir ketika menghantam, menangkap polutan yang kerap ada di udara dan perairan, dan menjadi habitat bagi makhluk hidup yang terkhusus berada di wilayah pesisir. "Kita harus berpacu juga untuk menjaga dan merehabilitasi ekosistem karbon biru kita yang
semakin terdegradasi," kata Rizal.
Potensi mangrove Indonesia
Sebagai catatan, luas padang lamun di Indonesia termasuk terluas di dunia hingga 293.465-875.957 Ha. Serta mampu menyerap karbon hingga 119,5 ton karbon per hektare. Begitu pun denganmangrove Indonesia yang seluas 3,3 juta Ha, adalah terbesar di dunia, dan mampu menyimpankarbon sebanyak 950 ton karbon per hektarnya.
Namun luas padang lamun di Indonesia, menurut hasil kajian Pusat Riset Oseanografi Indonesia dalam Buku Status Ekosistem Lamun di Indonesia 2021 disebutkan ekosistem ini mengalami penurunan sebesar 2,8 persen per tahun atau sekitar 0,4 ha per tahun pada periode 2015-2021. Sementara mangrove Indonesia, dalam data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2020) menyebutkan kurang lebih seluas 637.824,31 Ha (19,28 persen) berada pada kondisi kritis.
"Ke depan, kita ingin memastikan ekosistem Karbon Biru bisa masuk NDC (Nationally Determined Contribution). Tentu saja harus melalui perencanaan pembangunan Karbon Biru yang berkelanjutan, dan harus didukung komitmen semua pihak. Untuk mencapai ini diperlukan suatu kerangka kerja yang dapat mengakomodasi semua pihak," kata Rizal.
Direktur Kelautan dan Perikanan, Kementerian PPN/Bappenas Sri Yanti menambahkan, pembangunan karbon biru berkelanjutan harus mengedepankan upaya perlindungan dan kelestariannya dengan berbasis masyarakat. Guna mendukung upaya tersebut diperlukan mekanisme pembiayaan sehingga dapat berkontribusi terhadap pencapaian target NDC.
Load more