Meski aktor berganti-ganti sejak beberapa dekade lalu—mulai dari Sean Connery, George Lazenby, Roger Moore, Timothy Dalton, Pierce Brosnan, dan terakhir Daniel Craig—Bond akan selalu tampil necis dengan setelan jas, lengkap dengan simbol-simbol ikonisnya mulai dari pistol, Aston Martin, alkohol—ia nyaris selalu memesan vodka martini yang harus dikocok sampai sedingin es, bukan diaduk—dan deretan perempuan yang mengelilinginya atau kerap disebut “Bond Gilrs”.
Tengoklah “Bond Gilrs” versi mula-mula, dalam “Dr. No” (1962) misalnya, yang menggambarkan fenomena male gaze saat karakter Honey Ryder (diperankan oleh Ursula Andress) tampil untuk pertama kali muncul dalam adegan di pantai dengan menggunakan bikini sementara Bond versi Connery menatapnya dari kejauhan. Bahkan pada film dekade selanjutnya, M (diperankan oleh Judi Dench) menyebut Bond sebagai “seksis, misoginis, dinosaurus, pemikiran relik Perang Dingin” dalam film “Goldeneye” (1995).
Sarah Bayard melalui penelitiannya berjudul The Evolution of Female Gender Roles in James Bond Films (2015), mencatat dua klasifikasi “Bond Gilrs”, yakni “primary girl” dan “secondary girl”. “Primary girl” biasanya memiliki hubungan emosional dan romantis yang intens dengan Bond, dan terkadang digambarkan sebagai perempuan independen, cerdas, dan punya karier prestise. Sementara “secondary girl” dipandang sebagai pemanis cerita atau hanya objek seksual yang memperkuat maskulinitas Bond.
Tak ayal, dengan warisan maskulinitas seperti itu, waralaba Bond menghadapi kritik dan tantangan. Tak hanya itu, waralaba akan selalu menghadapi pertanyaan tentang bagaimana karakter ini dihidupkan dalam dunia yang relevan dengan zaman, serta menggugat terhadap budaya mapan kepada film pendahulunya.
James Bond tetaplah James Bond sebagaimana yang diimajikan Ian Fleming melalui sederet novelnya.
Bond tidak sepenuhnya berubah secara radikal dari zaman ke zaman. Jati dirinya tetap dikenali dalam serangkaian formula budaya populer dan simbol yang melekat padanya. Bond dalam waralaba merupakan tegangan antara usaha mempertahankan tradisi dan inovasi (dunia yang lebih kontemporer).
Dalam wawancara dengan Radio Times pada Selasa (21/9), Craig ditanya apakah dia percaya seorang aktris harus mengikuti peran mata-mata seperti yang ia lakoni. Ia mengatakan: "Jawabannya sangat sederhana. Seharusnya ada bagian peran yang lebih baik untuk perempuan dan aktor kulit berwarna. Mengapa seorang perempuan harus memerankan James Bond padahal seharusnya ada peran yang sebaik James Bond, tapi untuk seorang perempuan?"
Penulis naskah Phoebe Waller-Bridge juga telah mengatakan kepada Deadline melalui wawancara pada 2019: "Ada banyak pembicaraan tentang apakah (waralaba Bond) relevan di masa sekarang mengingat siapa dia dan cara dia memperlakukan perempuan. Saya pikir itu omong kosong. Saya pikir dia benar-benar relevan sekarang. (Karakter Bond) itu baru saja tumbuh dan berkembang, dan yang penting adalah bagaimana film itu memperlakukan perempuan dengan benar. [Bond] tidak harus. Dia harus setia pada karakter ini."
Perkataan Craig dan Waller-Bridge barangkali ada benarnya. Untuk terbaca menjadi relevan dengan zaman, tak perlu muluk-muluk menciptakan "Jane Bond". Cukup berdayakan dan hidupkan karakter-karakter perempuan yang hidup di sekitar James Bond—meski, sebagaimana kita tahu, budaya populer tak sepenuhnya bertindak progresif namun setidaknya peluang keberagaman karakter dapat memperkaya cerita Bond.
Jika dahulu Miss Moneypenny cenderung tak jauh berbeda dengan stereotipe “sekretaris perempuan” dan “Bond Gilrs”, di era kontemporer ia diperankan oleh aktris kulit hitam yang cerdas dan cakap—ia muncul pertama kali di “Skyfall” (2012) diperankan oleh Naomie Harris.
Load more