Jakarta - Pekan lalu, film James Bond ke-25 “No Time To Die” akhirnya mulai beredar di bioskop setelah tertunda selama 18 bulan. Sebagaimana yang sudah santer dibicarakan publik, “No Time To Die” menjadi film kelima dan yang terakhir bagi Daniel Craig yang telah memulai debutnya sebagai Bond di “Casino Royale” (2006).
Kali ini, Craig akan menikmati “masa pensiun” di dunia nyata, tak hanya di dalam semesta James Bond—angan-angan Bond untuk menikmati masa pensiun tergambar di “Casino Royale” dan “No Time To Die”. Ketika seorang aktor memutuskan pensiun memerankan karakter Bond, rumor dan spekulasi tentang siapa aktor yang akan bermain di film selanjutnya pun selalu bermunculan.
Nama Idris Elba misalnya, aktor kulit hitam yang masuk dalam perbincangan rumor pengganti Craig. Bahkan beberapa tahun terakhir, wacana dan pertanyaan ‘apakah mungkin karakter Bond dapat diperankan oleh perempuan?’ menyeruak di perbincangan publik—jika bisa, maka namanya akan berubah jadi "Jane Bond", katanya.
Wacana “Bond versi perempuan” muncul bukan tanpa alasan—Bond selalu dikritik karena mewarisi tradisi maskulinitas ala Barat. Karakter James Bond identik dengan cerminan dunia yang dominasi peran laki-laki hingga pada bagaimana cara kamera merekam dan memandang perempuan sebagai objek (male gaze).
Timothy M. Hoxha dalam artikel “The Masculinity of James Bond: Sexism, Misogyny, Racism, and the Female Character” yang diterbitkan Cambridge Scholars Publishing pada 2011 mencatat fenomena Bond yang telah menjadi “imajinasi bersama” tentang maskulinitas dan feminitas yang “ideal” dengan:
“Untuk laki-laki, Bond mewakili fantasi pamungkas—seorang agen rahasia yang dengan percaya diri dapat memilih perempuan dengan kemudahan kasual yang sama seperti yang dia gunakan untuk memesan segelas sampanye, sambil dengan cerdik berkelahi dengan dalang kriminal.
Untuk perempuan, dia [Bond] sopan, gagah, dan tampan; layaknya ksatria yang mewujudkan peran penakluk, penggoda, dan pahlawan.”
Meski aktor berganti-ganti sejak beberapa dekade lalu—mulai dari Sean Connery, George Lazenby, Roger Moore, Timothy Dalton, Pierce Brosnan, dan terakhir Daniel Craig—Bond akan selalu tampil necis dengan setelan jas, lengkap dengan simbol-simbol ikonisnya mulai dari pistol, Aston Martin, alkohol—ia nyaris selalu memesan vodka martini yang harus dikocok sampai sedingin es, bukan diaduk—dan deretan perempuan yang mengelilinginya atau kerap disebut “Bond Gilrs”.
Tengoklah “Bond Gilrs” versi mula-mula, dalam “Dr. No” (1962) misalnya, yang menggambarkan fenomena male gaze saat karakter Honey Ryder (diperankan oleh Ursula Andress) tampil untuk pertama kali muncul dalam adegan di pantai dengan menggunakan bikini sementara Bond versi Connery menatapnya dari kejauhan. Bahkan pada film dekade selanjutnya, M (diperankan oleh Judi Dench) menyebut Bond sebagai “seksis, misoginis, dinosaurus, pemikiran relik Perang Dingin” dalam film “Goldeneye” (1995).
Sarah Bayard melalui penelitiannya berjudul The Evolution of Female Gender Roles in James Bond Films (2015), mencatat dua klasifikasi “Bond Gilrs”, yakni “primary girl” dan “secondary girl”. “Primary girl” biasanya memiliki hubungan emosional dan romantis yang intens dengan Bond, dan terkadang digambarkan sebagai perempuan independen, cerdas, dan punya karier prestise. Sementara “secondary girl” dipandang sebagai pemanis cerita atau hanya objek seksual yang memperkuat maskulinitas Bond.
Tak ayal, dengan warisan maskulinitas seperti itu, waralaba Bond menghadapi kritik dan tantangan. Tak hanya itu, waralaba akan selalu menghadapi pertanyaan tentang bagaimana karakter ini dihidupkan dalam dunia yang relevan dengan zaman, serta menggugat terhadap budaya mapan kepada film pendahulunya.
James Bond tetaplah James Bond sebagaimana yang diimajikan Ian Fleming melalui sederet novelnya.
Bond tidak sepenuhnya berubah secara radikal dari zaman ke zaman. Jati dirinya tetap dikenali dalam serangkaian formula budaya populer dan simbol yang melekat padanya. Bond dalam waralaba merupakan tegangan antara usaha mempertahankan tradisi dan inovasi (dunia yang lebih kontemporer).
Dalam wawancara dengan Radio Times pada Selasa (21/9), Craig ditanya apakah dia percaya seorang aktris harus mengikuti peran mata-mata seperti yang ia lakoni. Ia mengatakan: "Jawabannya sangat sederhana. Seharusnya ada bagian peran yang lebih baik untuk perempuan dan aktor kulit berwarna. Mengapa seorang perempuan harus memerankan James Bond padahal seharusnya ada peran yang sebaik James Bond, tapi untuk seorang perempuan?"
Penulis naskah Phoebe Waller-Bridge juga telah mengatakan kepada Deadline melalui wawancara pada 2019: "Ada banyak pembicaraan tentang apakah (waralaba Bond) relevan di masa sekarang mengingat siapa dia dan cara dia memperlakukan perempuan. Saya pikir itu omong kosong. Saya pikir dia benar-benar relevan sekarang. (Karakter Bond) itu baru saja tumbuh dan berkembang, dan yang penting adalah bagaimana film itu memperlakukan perempuan dengan benar. [Bond] tidak harus. Dia harus setia pada karakter ini."
Perkataan Craig dan Waller-Bridge barangkali ada benarnya. Untuk terbaca menjadi relevan dengan zaman, tak perlu muluk-muluk menciptakan "Jane Bond". Cukup berdayakan dan hidupkan karakter-karakter perempuan yang hidup di sekitar James Bond—meski, sebagaimana kita tahu, budaya populer tak sepenuhnya bertindak progresif namun setidaknya peluang keberagaman karakter dapat memperkaya cerita Bond.
Jika dahulu Miss Moneypenny cenderung tak jauh berbeda dengan stereotipe “sekretaris perempuan” dan “Bond Gilrs”, di era kontemporer ia diperankan oleh aktris kulit hitam yang cerdas dan cakap—ia muncul pertama kali di “Skyfall” (2012) diperankan oleh Naomie Harris.
Dalam “Skyfall”, mulanya ia adalah agen lapangan namun pada akhirnya dipindahtugaskan menjadi seorang sekretaris karena secara tidak sengaja menembak Bond yang pada saat itu berkelahi di atas kereta. Pada adegan terakhir, Moneypenny meminta maaf kepada Bond, "Seperti yang Anda katakan, tidak semua orang cocok untuk pekerjaan lapangan."
Film “No Time To Die” kembali menampilkan Harris sebagai Moneypenny yang berdiri sebagai salah satu perempuan berdaya dan sangat kompeten. Perannya di dalam film ini sangat sentral bersama dua perempuan penting lainnya, Madeleine Swann dan agen Nomi.
“Saya pikir benar-benar brilian bahwa perempuan dalam film ini memainkan peran sentral seperti itu. Mereka sangat penting untuk mendorong cerita ke depan. Mereka ‘bad-ass’. Mereka terlibat penuh dalam aksi dan mereka bukan gadis lemah yang menunggu pertolongan. Mereka adalah perempuan tangguh, kuat, dan percaya diri. Sepanjang film ini, Bond tidak akan bertahan tanpa bantuan dari para perempuan yang membantunya selama ini,” kata Harris dikutip dari siaran pers pada Senin.
Selain Moneypenny, karakter Madeleine Swann (diperankan Léa Seydoux) juga sangat menarik jika ditilik lebih jauh. Swann adalah apa yang disebut Bayard sebagai “primary girl” yang cerdas, independen, dan punya karier prestise.
Penelitian Bayard menyebutkan, meskipun “primary girl” lebih unggul daripada “secondary girl”, kebanyakan “Bond Girls” hanya muncul satu kali dalam film. Namun berbeda untuk film Bond generasi Craig menandai pertama kalinya “Bond Girl” digambarkan secara signifikan dalam dua film, yakni “Spectre” (2015) dan “No Time To Die”.
Posisi Swann juga istimewa di hati Bond, walaupun ingatan tentang Vesper Lynd tentu saja membayangi di semua film Craig. Kehadiran Swann membuka ruang sentimental Bond serta mendorongnya menjadi sesosok agen rahasia yang lebih manusiawi dan kompleks dibanding film generasi sebelumnya—memperlihatkan segala kekurangan dan kerentanan sisi Bond.
Terlebih, adegan penutup “No Time To Die” yang mempertegas peran vital Swann bagi kehidupan Bond telah menimbulkan serangkaian pertanyaan bagi penonton; akan dibawa ke mana film Bond selanjutnya?
Dalam “No Time To Die”, jangan lupakan pula sosok agen baru bernama Nomi (diperankan Lashana Lynch). Ia adalah agen MI6 perempuan kulit hitam pertama yang tampil dalam sejarah “maskulinitas laki-laki kulit putih” di film-film James Bond. “Dia kuat, tajam, jenaka, dan berani. Dia lucu, sangat nakal, sangat sarkastik. Saya pikir dia partner yang bagus untuk Bond karena dia bisa sangat serius, terutama ketika dia sedang dalam misi,” kata Lynch tentang karakternya.
Seperti yang telah disinggung di awal paragraf, perdebatan publik mengenai James Bond yang ingin digantikan dengan “Jane Bond” telah menyeruak sebelum “No Time To Die” resmi tayang. Tampaknya film ini telah menjawab kegelisahan publik dan tantangan zaman.
Setelah Bond memutuskan pensiun dari tugas mata-mata MI6, agen Nomi memang menyandang kode sandi 007—yang ikonik melekat pada identitas Bond selama ini—namun pada akhirnya ia mengembalikan kembali kode tersebut kepada Bond segera setelah bergabung kembali dengan MI6 di “No Time To Die”.
Meski Nomi menyandang kode sandi 007, toh posisi sentral James Bond tidak akan tergantikan dan Nomi tidak akan tiba-tiba menjadi “Jane Bond”. Lagi pula, “Itu hanyalah sebuah angka,” tegas Nomi kepada Bond dalam sebuah adegan di “No Time To Die”.
Agen Nomi telah membuktikan dirinya bisa berdiri sebagai karakter yang mandiri dan tanpa bayang-bayang imaji “Bond versi perempuan”. Seperti yang telah dikatakan Craig dan penulis naskah Waller-Bridge, menggugat maskulinitas Bond tak perlu muluk-muluk mengubah Bond secara radikal, cukup tampilkan keberagaman dan kedalaman pada pengembangan setiap karakter di sekitar Bond, terutama pada “Bond Girls”.
Terlepas dari warisan maskulinitas ala Barat, bagaimanapun James Bond adalah James Bond. Ia akan hidup dan abadi dengan formula karakteristik Bond dan tegangan perubahan zaman. Adegan penutup “No Time To Die” juga menimbulkan pertanyaan lain bagi penonton; “Jadi, seberapa abadi James Bond itu?”
Dalam konteks perbincangan literatur, karya fiksi pada hakikatnya adalah abadi. Dengan kata lain, karakter James Bond sejatinya telah abadi sejak Ian Flaming menelurkan novel pertamanya, bahkan seandainya waralaba tak lagi memproduksi karya lanjutan tentang Bond—ia akan tetap hidup selama masih ada orang-orang yang menikmati cerita Bond.
Namun, “abadi” juga dapat terkait dengan penggambaran Bond yang selalu ditampilkan berusia serupa di setiap filmnya sejak 1962 hingga kini—belum pernah ada Bond lanjut usia yang tidak lagi gagah. Dalam hal usia, Bond layaknya dewa abadi yang tak pernah menua, renta, dan tak lagi tertarik merayu perempuan. Ini menjadi pertanyaan lanjutan, seperti apa selanjutnya film Bond ke-26; barangkali ia tetap menjaga maskulinitas Bond dengan mempertahankan “usia abadinya”. Tetapi di sisi lain, Bond juga tak abadi jika mengingat bagaimana “No Time To Die” berakhir. (ari/ant)
Load more