Jakarta, tvOnenews.com - Belakangan masyarakat dihebohkan dengan kasus rabies yang meningkat di beberapa daerah. Instansi terkait dan pemerintah daerah (pemda) lekas menyediakan vaksin guna meminimalisir kasus.
Lantas sebenarnya apakah penyakit rabies dan bagaimana gejalanya serta apa yang harus diwaspadai oleh masyarakat?
Ahli Penyakit Tropik dan Infeksi RSCM, dr. Erni Juwita Nelwan, SpPD. menjelaskan bahwa rabies adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus rabies.
“Virus ini menyerang susunan saraf pusat. Rabies termasuk dalam kelompok penyakit zoonosis, ditularkan dari hewan ke manusia melalui gigitan hewan penular rabies,” ujar dr. Erni dalam keterangan tertulis kepada tvOnenews pada Kamis (13/7/2023).
Penyakit ini dikenal masyarakat sebagai penyakit anjing gila, di mana anjing merupakan salah satu hewan yg bisa membawa virus rabies.
“Bila seseorang terkena rabies, angka kematian bisa mencapai 100 persen,” tandas dr. Erni.
Kemudian dr. Erni menjelaskan bahwa virus penyebab rabies masuk dalam golongan Lyssa virus, family rhabdoviridae.
“Bersifat neurotropik, makanya menyerang saraf,” jelas dr. Erni.
Berdasarkan data, kata dr. Erni, di dunia 99 persen kematian akibat rabies disebabkan oleh gigitan anjing.
Ilustrasi Anjing Liar (pexels/dids)
“Anjing merupakan reservoir utama bagi rabies sedangkan hewan liar yang menjadi reservoir utama rabies adalah rubah, musang, dan anjing liar,” tandasnya.
Di Indonesia, menurut dr. Erni, hewan yang dapat menjadi sumber penularan rabies pada manusia adalah anjing, kucing dan kera.
“Namun sumber penularan utama adalah anjing, sekitar 98 persen dari seluruh penderita rabies tertular melalui gigitan anjing,” kata dr. Erni.
Ketua Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi. Dept. IPD FKUI/RSCM itu kemudian menjelaskan bahwa kasus rabies itu ada di sekitar 25 provinsi. Sehingga jika tidak hewan tidak divaksin maka dikhawatirkan berpotensi lonjakan kasus.
“Kondisi saat ini bisa jadi juga akibat vaksinasi pada hewan yg rendah (masa pandemi kemungkinan jadi salah satu faktor),” ujarnya.
Luka Korban Akibat Gigitan Anjing Rabies di Dompu, NTB (ant)
dr. Erni menjelaskan bahwa sttelah virus rabies masuk melalui luka
gigitan atau cakaran, virus akan menetap selama 2 minggu di sekitar luka gigitan.
“Sambil memperbanyak diri di otot sekitar gigitan. Lalu virus akan menuju susunan saraf pusat melalui saraf perifer tanpa ada gejala apapun,” jelas dr. Erni.
Kemudian, setelah mencapai otak, virus akan replikasi secara cepat dan menyebar ke seluruh sel saraf otak (neuron).
“Setelah memperbanyak diri dalam neuron otak, virus berjalan ke arah perifer ke saraf eferen baik sistem saraf volunter maupun otonom,” tandasnya.
“Dengan demikian virus ini menyerang hampir tiap organ dan jaringan di dalam tubuh, dan virus akan berkembang biak dalam jaringan-jaringan seperti kelenjar ludah, ginjal dan sebagainya,” sambung dr. Erni.
Maka gejala yang terlihat ketika virus sudah menyerang otak.
“Setelah digigit hanya gejala terkait luka gigitan,” kata dr. Erni.
Ilustrasi Jenazah (iStock Photo/Soumen Hazra)
dr Erni menjelaskan bahwa pasien yang meninggal tergantung perjalanan penyakit yang terdiri dari empat tahap.
“Prodormal, sensoris, eksitasi dan paralisis,” jelas dr. Erni.
“Sekitar 13 hari dari sejak digigit sampai menjadi paralisis lalu menimbulkan kematian,” lanjut penjelasan dr. Erni.
Ilustrasi Anjing (Ist)
dr. Erni menjelaskan bahwa anjing pembawa rabies ada tiga tahap gejala yakni prodromal, eksitasi, dan paralitik.
“Prodromal (2-3 hari) perubahan perilaku hewan, tidak kenal pemiliknya tuannya, menghindar mengacuhkan perintah,” jelas dr. Erni.
Kata dr. Erni, bila ada provokasi anjing yang terinfeksi rabies akan mudah terkejut.
“Terjadi kenaikan suhu tubuh, dilatasi pupil dan refleks kornea menurun terhadap rangsangan,” katanya.
Kemudian tahap berikutnya kata dr. Erni adalah eksitasi yang berlangsung sekitar 3- 7 hari.
“Mulai takut cahaya dan akan bersembunyi di kolong tempat tidur, dibawah meja atau kursi. Gelisah, Sering mengunyah benda di sekitarnya,’ jelas dr. Erni.
Tahap berikutnya yakni paralisis (singkat). Sehingga gejala pada tahap ini bisa tidak diketahui oleh pemilik atau warga yang melihat.
“Kelumpuhan otot pengunyah rahang tampak menggantung. Suaranya tersedak akibat kelumpuhan otot tenggorokan,” kata dr. Erni.
Paralisis kaki belakang sehingga saat anjing berjalan akan terlihat seperti diseret.
Guna meminimalisir kasus, selain vaksinasi, dr. Erni mengingatkan kepada warga agar lekas melapor jika melihat ada anjing yang terlihat sakit di lingkungannya. (put)
Load more