Yogyakarta - Resistensi antimikroba berisiko memicu penyebaran penyakit dan kematian akibat tuberculosa (TB) semakin tinggi.
“Sejak tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir, tren TB membutuhkan investasi dalam negeri dengan dukungan internasional untuk memperluas akses ke layanan pencegahan, diagnostik, dan pengobatan,” kata Direktur Jenderal World Health Organization (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam pertemuan The 1st Health Ministers Meeting (HMM) di Hotel Marriot Yogyakarta, Senin (20/6/2022).
Untuk mengantisipasi penyebaran penyakit dan kematian akibat tuberculosa, saat ini WHO sedang mendorong pengembangan vaksin TB terbaru. Karena itu WHO pun menyambut baik langkah G20 dalam mewaspadai resistensi antimikroba.
“WHO menghargai fokus G20 pada resistensi antimikroba, Kami berharap dapat mendiskusikan topik ini dengan G20," kata Ghebreyesus.
Menanggapi peringatan Ghebreyesus, Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono Harbuwono menyatakan bahwa Indonesia mendukung inisiatif WHO dalam pengembangan vaksin TB terbaru untuk menekan laju kasus di dunia. Saat ini, vaksin yang digunakan untuk mencegah TB adalah Vaksin Bacillus Calmette–Guérin (BCG).
“Nanti kami gunakan vaksin TB yang lebih baik,” ujarnya saat meninjau Puskesmas Banguntapan 1 Yogyakarta, Selasa (21/6/2022).
Dante berharap vaksin terbaru nanti lebih adaptif terhadap kejadian resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) atau kondisi saat virus TB mengalami perubahan sehingga kebal terhadap obat-obatan yang diberikan.
Upaya Indonesia menekan resistensi antimikroba dengan cara meningkatkan kepatuhan pasien meminum obat.
“Memang ada efek samping saat minum obat, tapi efek samping itu tidak lebih besar dari keburukannya apabila obat tidak diminum secara patuh, itu yang memicu resistensi obat,” ujar Dante.
Angka kasus resistensi antimikroba di Indonesia, menurut dia, relatif sedikit. Contohnya, di Puskesmas Banguntapan 1 hanya mencatat satu pasien TB resistensi obat.
Sementara itu, menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu, laju kasus TB nasional kini sebesar 824 ribu per tahun, atau setara 301/100.000 penduduk. Jumlah itu turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 848.000 kasus.
“Indonesia sedang intensif melacak TB berbasis desa. Penderita TB jangan cuma kepala Puskesmas saja yang tahu. Kepala Desa hingga Kementerian juga tahu,” ujarnya.
Pelacakan TB menggunakan Aplikasi Sehat IndonesiaKu (ASIK), sehingga tenaga kesehatan lebih efisien mencatat data pasien dan terintegrasi dalam satu database.
Kelebihan lainnya, aplikasi ini dapat digunakan tanpa terhubung dengan internet, sehingga memudahkan tenaga kesehatan di wilayah pelosok maupun kawasan tertinggal.
Pelaporan kasus TB juga mengandalkan peran fasilitas layanan kesehatan swasta yang menyumbang 25 persen laporan per tahun. (HW/ree)
Load more