Kanker paru merupakan penyebab ketiga kanker terbanyak di Indonesia bahkan penyebab kematian peringkat pertama di antara semua jenis kanker. Pasalnya banyak dari pasien kanker paru yang baru berobat saat sudah stadium lanjut.
Hal tersebut diungkapkan dr. Fauzar SpPD-KP dari RSUP M. Jamil pada acara PIN (Pertemuan Ilmiah Nasional) PAPDI (Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia) ke XIX di Padang 2022 yang baru saja berakhir.
Ia menjelaskan bahwa memang di praktek klinik, banyak pasien kanker paru yang berobat ke rumah sakit sudah berada pada stadium lanjut, bahkan metastasis atau sudah menyebar ke tulang, liver, hingga otak.
"Apabila kanker paru kita temukan pada stadium dini, tingkat kesembuhannya yang ditandai oleh 5-year survival bisa mencapai 60 hingga 80 persen sehingga bisa menurunkan tingkat kesakitan dan kematian," katanya.
Menurut dr. Wulyo Rajabto SpPD-KHOM yang merupakan salah seorang staf Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM-FKUI setidaknya terdapat tiga upaya yang bisa dilakukan untuk menemukan kanker paru stadium dini:
1) skrining populasi berusia di atas 50 tahun yang memiliki risiko tinggi yang sehat dan fit, namun saat ini masih merokok, atau riwayat merokok sebelumnya atau baru saja berhenti merokok, dengan melakukan pemeriksaan low dose CT-scan paru,
2) klinisi bisa menyarankan kepada masyarakat, baik pria dan juga wanita berusia 50 tahun ke atas untuk melakukan medical check-up tahunan,
3) klinisi memberikan perhatian khusus kepada pasien-pasien dengan keluhan batuk >2 minggu tanpa keluhan batuk darah dan sesak nafas menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan ronsen thoraks dan/ atau low dose CT-scan paru.
Dokter Wulyo yang baru saja menghadiri Advanced Course Early Lung Cancer dari European Society for Medical Oncology (ESMO) di Melbourne Australia menjelaskan pengobatan utama kanker paru stadium dini adalah reseksi tumor dilanjutkan program infus kemoterapi adjuvant (tambahan) 3-4 siklus tiap 3 minggu menggunakan obat-obatan berbasis platinum.
Bahkan penelitian terbaru apabila pemeriksaan egfr terdapat mutasi pada sampel kanker paru, pasca kemoterapi tambahan klinisi bisa melanjutkan terapi target berupa egfr inhibitor yang bisa dikonsumsi peroral selama tiga tahun, sedangkan apabila pemeriksaan pdl-1 >1% klinisi bisa memberikan immunotherapy selama 1 tahun.
Di sisi lain, dr. Wulyo juga menekankan perlunya memonitor efek samping pengobatan egfr inhibitor yaitu bisa muncul jerawatan, diare, radang pada kuku atau paronikia, dan radang pada paru atau pneumonitis.
Sedangkan efek samping immunotherapy adalah hipotiroid dan atau bahkan hipertiroid, diare akibat colitis, kuning atau jaundice akibat radang pada liver atau hepatitis, dan pneumonitis yang apabila kondisinya berat memerlukan terapi khusus pemberian steroid dan immunosuppressant, serta pemberhentian obat-obatan egfr inhibitor dan atau immunotherapy. (amr)
Load more