Kemudian menurut penelitian, imbuh Robert, bakteri yang resisten bisa menjadi sensitif kembali terhadap antibiotik apabila penggunaan antibiotik tersebut direduksi. Meski begitu, kembalinya sensitivitas itu terjadi pada tahun berikutnya setelah pengurangan obat dilakukan.
“Ada penelitian menunjukkan bahwa ketika antibiotik itu turun penggunaannya atau mulai dijarangkan penggunaannya, ternyata kumannya bisa menjadi sensitif lagi atau menjadi peka lagi terhadap antibiotik,” kata dia.
Robert menyebutkan bahwa angka kematian akibat resistensi antibiotik lebih tinggi dibandingkan dengan infeksi oleh bakteri yang tidak kebal obat. Bahkan dunia memprediksi bahwa resistensi akan menjadi masalah kesehatan yang lebih tinggi dibanding masalah kelaparan.
“Orang infeksi dengan kuman yang biasa saja, angka kematiannya ada. Apalagi infeksi oleh kuman kebal obat. Kematiannya tinggi,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Robert menekankan pentingnya kerja sama masyarakat dalam upaya pencegahan resistensi antibiotik mengingat pencegahan lebih baik daripada mengobati. Dia juga mengingatkan pentingnya sikap kehati-hatian dalam konsumsi antibiotik. Jenis obat ini bukanlah obat untuk demam dan hanya boleh diresepkan oleh dokter jika pasien terindikasi mengalami infeksi bakteri.
“Kalau bukan infeksi bakteri tidak perlu antibiotik. (Jika) dokter tidak memberikan antibiotik, jangan dipaksa memberikan antibiotik. (Kalau) dokter memberikan antibiotik, tanya, ‘Dok, kenapa saya butuh antibiotik’, jadi sama-sama kita saling mengingatkan bahwa kalau memang tidak perlu antibiotik, tidak perlu diberikan,” kata Robert. (ant/put)
Load more