Sikka, Nusa Tenggara Timur - Tradisi Jumat Agung Logu Shenhor adalah untuk mengenang Kisah senggara Yesus Kristus yang dirayakan umat Katolik. Warga Kampung Sikka, Desa Sikka, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, tahun ini akan menggelar tradisi Logu Shenhor yang merupakan peninggalan bangsa portugis sejak abad ke 16 lalu, tepatnya pada tahun 1607 di Gereja Santo Ignatius Loyona Sikka yang kini telah berusia 123 tahun.
Menurut Firminus, peserta kegiatan prosesi Logu Shenhor tahun 2022 ini pun dibatasi hanya sebanyak 500 peserta yang datang dari luar kampung Sikka. Pembatasan peserta ini pun dilakukan mengingat pandemi Covid-19 yang masih terus mengancam hingga kini.
"Kita telah berkoordinasi dengan pihak satgas covid kabupaten untuk kegiatan rohani ini. Dan kami pun telah membentuk tim satgas covid yang bertugas untuk mengamankan protokol kesehatan selama prosesi berlangsung," papar Virminus.
Sementara itu, Gregorius Tamela, salah satu tokoh masyarakat Kampung Sikka, mengisahkan, Logu Senhor artinya berjalan menunduk di bawah salib Yesus yang diletakkan di atas sebuah tandu, dan diusung empat petugas.
Saat melakukan tradisi ini, setiap peserta sambil membawa lilin yang menyala, menyampaikan doa dan intensi dalam hati, dengan harapan dikabulkan Yesus Kristus yang menderita dan wafat di salib pada hari itu.
"Salib Yesus ini dibawa dari Portugis sekitar tahun 1600 oleh Raja Sikka bernama Don Alexius Ximenes da Silva atau yang biasa disebut Don Alesu. Salib Yesus ini pun berukuran mini dengan panjang 75 centimeter. Salib ini disimpan pada Kapela Senhor yang letaknya sebelah kiri Gereja Sikka. Namun tidak sembarang orang dapat masuk ke Kapela Senhor, kecuali turunan Darabogar yang disebut-sebut sebagai pengawal raja," Kisah Tamela.
Lebih lanjut dikisahkan Gregorius Tamela, tradisi Logu Shenhor yang digelar warga Kampung Sikka ini berawal ketiga pada abad ke-15 sampai awal abad ke-16, wilayah Sikka dipimpin seorang bernama Moang Baga Ngang. Pria ini mempunyai 3 orang putra yaitu Moang Lesu, Moang Korung, dan Moang Keu.
Moang Lesu lebih menonjol, terutama dalam hal wawasan dan kehidupan masyarakat Sikka mulai dari kelahiran, kehidupan, penyakit seperti yang diungkapkan dalam syair bahasa Sikka berikut ini:
“Niang ei Beta Mate Tanah ei Herong Potat Mate Due Rate Rua Potat Due Leda Telu
Blutuk Niu Nurak di Mate Blupur Odo Korak di Potat Teri di Mate Era di Potat”
Dua ungkapan di atas menggambarkan bahwa dunia ini tidak kekal abadi. Setiap ada kehidupan pasti ada kematian. Kematian tidak dibatasi umur. Bayi bisa mati, tua renta pun mati. Kapan saja kematian itu pasti ada.
Karena hal itulah, Moang Lesu memikirkan dan mencari kemungkinan di dunia ini ada tempat lain yang tidak ada penderitaan dan kematian.
Dia lalu memutuskan mengembara mencari tanah tersebut. Dalam bahasa Sikka dikenal dengan “Tanah Moret”.
Moang Lesu lalu menuju wilayah utara, tepatnya di Pelabuhan Waidoko Maumere. Pelabuhan ini merupakan tempat persinggahan atau berlabuhnya kapal-kapal dagang dari Bugis, Buton, Makassar, Bonerate, dan Portugis dari Tanah Malaka.
Di Pelabuhan Waidoko, Moang Lesu bertemu dengan Dzogo Worilla, seorang anak buah kapal dagang milik Portugis.
Kepada Dzogo Worila, dia bertanya, apakah di tanah mereka tidak ada kematian. Tetapi Worila menjawab bahwa di dunia ini manusia yang lahir dan hidup, pasti berakhir dengan kematian.
Namun, untuk mendapat kepastian akan jawaban itu, Moang Lesu diajak bersama-sama berlayar menuju tanah Malaka. Moang Lesu pun berlayar ke Malaka bersama Dzogo Worila.
Sesampai di Malaka, Moang Lesu bertemu Gubernur Malaka. Dia lalu menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan untuk mencari “Tanah Moret”.
Gubernur Malaka menanggapi penyampaian Moang Lesu bahwa ada kehidupan yang bahagia dan kekal setelah kematian di dunia ini.
Tetapi untuk mendapatkan itu, Moang Lesu harus mengikuti persyaratan-persyaratan yakni membangun gereja dan mengikuti ajaran-ajaran gereja.
Moang Lesu menyetujui persyaratan-persyaratan tersebut dan siap melakukan itu semua. Selanjutnya, dia pun mengikuti pelajaran Agama Katolik, pelajaran ilmu politik dan pemerintahan selama 3 tahun.
Setelah itu dia dibaptis dengan nama Don Alexius Ximenes da Silva. Lalu Gubernur Tanah Malaka melantiknya sebagai Raja Sikka.
Setelah 3 tahun di Malaka, Moang Lesu memutuskan kembali ke Kampung Sikka.
Sebelum pulang, dia menghadiahkan Gubernur Malaka sejumlah emas dan wewangian yang dalam Bahasa Sikka disebut “ambar menik” atau muntahan ikan paus.
Gubernur Malaka nenghadiahkan Moang Lesu berupa Salib Senhor, Patung Meninu (Patung Kanak-kanak Yesus sebagai Raja), Tugur Griang (panji yang bergambar orang kudus), Regalia kerajaan, dan sejumlah batang gading berukuran besar dan sedang.
Sekitar tahun 1600, Moang Lesu kembali ke Kampung Sikka. Dia didampingi seorang guru agama berkebangsaan Portugis bernama Agustino Morenho.
Setibanya di Kampung Sikka, Agustinho Morenho menyelenggarakan upacara pengukuhan kembali Moang Lesu menjadi Raja Sikka.
Setelah itu Agustinho Morenso mulai mengajar iman Katolik kepada keluarga Raja Sikka. Dia juga memimpin upacara Liturgi Gereja, termasuk Liturgi Logu Senhor pada hari raya Jumat Agung yang dalam bahasa Sikka Sexta Vera.
"Sejak saat itulah upacara Logu Senhor dilaksanakan setiap tahun pada perayaan Jumat Agung. Namun demikian Prosesi Logu Senhor sempat ditiadakan oleh para Imam Jesuit yang menjadi Pastor Paroki Santo Ignatius Loyola Sikka," kisah Tamela. (ofk/act)
Load more