tvOnenews.com - Mary Jane Veloso adalah salah seorang terpidana mati atas kasus peredaran narkoba jenis heroin.
Mary Jane (31th) ditangkap pada April 2010 di bandara Yogyakarta setelah kedapatan membawa 2,6 kilogram heroin.
Kasus seorang Mary Jane bisa dibilang cukup dramatis. Pasalnya, ia mengklaim jika narkoba tersebut dijahitkan di dalam kopernya tanpa sepengetahuan dirinya.
Selama di persidangan atas kasusnya, Mary Jane berkukuh jika dirinya tidak bersalah atas kepemilikan narkoba.
Mary Jane adalah putri bungsu dari 5 bersaudara yang berasal dari keluarga miskin di Provinsi Nueva Ecija, Filipina. Pada usia 17 tahun Mary Jane menikah muda dan telah dikaruniai 2 anak.
Namun tak lama, Mary Jane bercerai dengan suaminya. Untuk membiayai kehidupan dirinya dan kedua anaknya, Mary Jane kemudian memutuskan untuk bekerja sebagai TKW ke Dubai, Uni Emirat Arab, pada 2009 silam.
Mary Jane kemudian bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) selama 9 bulan di Dubai. Ia juga mendapat perlakuan tidak menyenangkan.
Majikan ditempatnya bekerja pernah mencoba untuk memperkosanya, hingga akhirnya Mary keluar dan kembali ke Filipina.
Pada tahun 2010, Cristine atau Maria Cristina Sergio menawarkan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia kepada Mary Jane.
Namun sesampainya Mary Jane di Malaysia, pekerjaan itu tidak didapatkannya. Akhirnya Mary Jane diminta untuk terbang ke Indonesia.
Ia diminta pergi ke Yogyakarta sebagai pengganti tawaran pekerjaan sebelumnya, Cristina lah yang meminta Mary Jane terbang ke Yogyakarta, Indonesia.
Mary Jane kemudian dibekali sebuah koper baru dan uang sebanyak 500 dollar Amerika Serikat (USD). Pada 25 April 2010 Mary Jane menginggalkan Kuala Lumpur dan bertolak ke Yogyakarta.
Setibanya di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, usai melewati jalur sinar-X, petugas bandara kemudian menaruh curiga pada tas koper yang dibawa oleh Mary Jane.
Petugas akhirnya memeriksa koper tersebut dan menemukan sejumlah heroin yang dibungkus dengan alumuniun sebesar 2,6 kilogram.
Saat dirinya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati, Mary Jane tidak mendapatkan fasilitas yang memadai untuk membela diri di persidangan.
Agus Salim yang merupakan pengacara Mary Jane mengatakan, bahwa saat diinterogasi polisi Mary Jane tidak didampingi pengacara dan juga penerjemah.
Padahal, saat itu interogasi dilakukan dengan menggunakan Bahasa Indonesia, sementara Mary Jane hanya bisa berbahasa Tagalog.
Saat di persidangan pengadilan disebut juga bahwa tidak ada penerjemah berlisensi. Adapun seorang pengacara yang ditunjuk adalah pembela umum yang disediakan oleh polisi.
Dalam sidang atas kasus itu, hakim kemudian menjatuhkan vonis hukuman mati, lebih berat dari tuntutan jaksa sebelumnya yakni hukuman pidana seumur hidup.
Eksekusi mati Mary Jane dijadwalkan dilakukan pada 29 April 2015 yang lalu di Nusakambangan, Jawa Tengah.
Namun saat detik-detik terakhir menjelang eksekusi, hukuman mati Mary Jane diurungkan menyusul desakan publik, DPR, dan Komnas Perempuan kepada Presiden.
Penundaan eksekusi mati atas Mary Jane dilakukan karena besarnya tekanan masyarakat internasional dan nasional yang mengatakan bahwa dirinya merupakan korban dari perdagangan manusia atau human trafficking.
Grasi atas Mary Jane bersama 11 orang terpidana mati lainnya juga ditolak Presiden Jokowi melalui Keputusan Presiden (Keppres) tertanggal 30 Desember 2014.
Tim pengacara Mary Jane bahkan sampai mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kedua di Pengadilan Negeri (PN) Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada 27 April 2015. PK atas kasus Mary Jane kemudian ditolak oleh PN Sleman sehari setelah diajukan.
Padahal eksekusi mati jatuh pada 29 April 2015, dan pada saat itu, Mary Jane sudah dipindahkan dari LP Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta ke LP Nusakambangan pada 24 April 2015 sekitar pukul 01.40 WIB, untuk kemudian menjalani persiapan eksekusi mati.
Saat hari berpindah ke 29 April 2015 eksekusi mati Mary Jane yang seharusnya dilaksanakan dibatalkan di detik-detik terakhir.
Mary tidak masuk dalam daftar terpidana yang dibawa ke lokasi eksekusi di Lapangan Limus Buntu sekitar pukul 00.00 WIB. Ia kemudian dibawa keluar sel dan dikembalikan lagi ke LP Wirogunan Yogyakarta.
Sehari sebelum eksekusi mati Mary Jane dilaksanakan, pada 28 April 2015, seseorang bernama Maria Kristina Sergio tiba-tiba menyerahkan diri di Kepolisian Provinsi Nueva Ecija, Filipina, pukul 10.30 waktu setempat.
Kristina mengaku merekrut Mary Jane, terpidana mati yang sedang menanti eksekusi mati pada malam harinya.
Divisi Biro Investigasi Anti Perdagangan Manusia Filipina juga mengajukan tuntutan kasus perekrutan ilegal terhadap Mary Jane yang dilakukan oleh Kristina bersama partnernya Julius Lacanilao dan seorang lagi berkewarganegaraan Afrika 'Ike', ke Departemen Kehakiman.
Saat itu, Lacanilao juga menyerahkan diri ke polisi bersama Kristina.Dalam sebuah wawancara dengan salah satu media Filipina, ABS-CBN, Kristina membantah atas tuduhan itu.
Kristina mengatakan bahwa dirinya hanya ingin menolong Mary Jane untuk mendapatkan pekerjaan di Malaysia.
Kristina juga mengatakan bahwa saat di Malaysia, Mary Jane sering melakukan panggilan telepon dengan seseorang.
Beberapa hari setelah Mary Jane tiba di Malaysia, ia menghubungi Kristina bahwa Mary akan terbang ke Indonesia.
Kristina juga berdalih tidak mengetahui penerbangan Mary Jane ke Indonesia dan terkejut saat mengetahui bahwa Mary Jane sudah tertangkap karena membawa sejumlah narkoba di bandara Indonesia.
Kristina bahkan menantang untuk melakukan uji detektor kebohongan kepada siapa saja yang menuduhnya merekrut Mary Jane secara ilegal.
Pemerintah Filipina sudah meminta grasi untuk Mary Jane saat ini tengah menunggu eksekusi mati.
Permintaan itu menjadi upaya terbaru dari pemerintah Filipina untuk menyelamatkan nyawa terpidana mati atas kasus narkoba.
Sekretaris Pers untuk Presiden Ferdinand Marcos Jr mengungkapkan bahwa permintaan grasi untuk Mary Jane akan disampaikan oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Filipina Enrique Manalo saat bertemu Menlu Indonesia Retno Marsudi di Jakarta.
Pertemuan Menteri Luar Negeri kedua negara digelar di sela kunjungan kenegaraan Marcos Jr ke Indonesia.
Mary Jane mengaku jika dirinya sempat mengalami depresi sejak pertama kali hakim menjatuhkan vonis hukuman mati kepadanya.
Ia mengaku jika dirinya dilanda stres, tidak bisa tidur, dan bahkan sempat membenci Tuhan.
Namun, setelah mendapatkan penundaan terhadap eksekusi mati, Mary Jane mengaku dirinya bisa bangkit dan mendapatkan banyak dukungan dari berbagai pihak untuk terus berjuang.
Dia juga menyadari bahwa jika selama ini dirinya telah dimanfaatkan atas trauma yang pernah dialami Mary karena hampir diperkosa di Dubai dan kemudian Cristina mengririmnya ke Yogyakarta.
Kini, Mary Jane mulai mahir berbicara bahasa Indonesia setelah hampir 13 tahun menghabiskan waktunya di penjara.
Ibu dua anak itu juga saat ini rajin membatik selama berada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kelas II B Yogyakarta, Wonosari, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyawakarta (DIY).
Kepala Lapas Perempuan Kelas II B Yogyakarta Ade Agustina mengatakan jika batik karya Mary Jane sudah tidak terhitung.
Bahkan satu kain batik karya Mary Jane kini memiliki harga jual yang tinggi, mulai dari Rp 600.000 hingga jutaan.
Melalui hasil penjualan karyanya itu, kini Mary Jane bisa mengirimkan uang ke keluarganya di Filipina. Tak hanya rajin membatik, Mary Jane juga terlibat di aktivitas sosial lain di lapas, seperti bermain organ tunggal untuk mengiringi kegiatan kerohanian.
(udn)
Load more