Semarang, Jawa Tengah - Kampung Bustaman ini kalau kata orang Semarang, posisinya "nyempil" di tengah kawasan perdagangan yang dihuni multi ras di Jalan MT. Haryono Semarang. Ada pedagang keturunan Arab, Cina, Koja, dan tentu saja Jawa. Gang masuk kampung hanya dua meteran. Jadi hanya bisa dilewati pejalan kaki maupun sepeda motor.
Kemudian pada sekitar tahun 1950an, datang seorang pedagang gule asal Kudus ke pemukiman ini. Ia membawa racikan baru yaitu gule tanpa santan. Ia menggantinya dengan kelapa parut yang disangrai hingga mengeluarkan minyak. Nah, bumbu khusus yang orang sini menyebutnya srundeng tersebut, menghasilkan kuah gule yang jauh lebih gurih dan baunya harum.
Ciri khas lainnya dari gule Kampung Bustaman adalah isiannya yang sebagian besar memakai kepala dan kaki kambing, jeroan, dan sebagian daging. Sementara daging bersih tanpa lemak dipakai untuk sate.
Makruf menceritakan, hal-hal yang berbau kambing sudah sangat akrab bagi warga Kampung Bustaman. Dari pedagang kambing hidup, pengelola rumah potong, penjual daging, peracik kuliner serba kambing, bahkan warga di sini juga sangat ahli membersihkan kaki dan kepala kambing yang bagi banyak orang sangat merepotkan itu.
"Kalau rumah pemotongan itu yang mengawali warga keturunan Arab. Lalu berbaur dan menghasilkan cabang usaha perkambingan yang lain sampai sekarang," ungkapnya.
Kunci gule kambing khas Kampung Bustaman selain bumbu srundeng adalah bagaimana membuat kepala dan kaki kambing yang dikenal alot dan liat itu menjadi empuk.
Load more