tvOnenews.com - Tragedi Gerakan 30 September 1965 (G30S PKI) merupakan salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah Indonesia.
Salah satu momen yang paling membekas adalah serangan brutal di rumah Jenderal Abdul Haris Nasution.
Putrinya, Ade Irma Suryani Nasution, turut menjadi korban peluru tentara Cakrabirawa.
Kepergian Ade Irma di usia yang sangat muda tak hanya meninggalkan duka mendalam bagi keluarga Nasution, tetapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia.
Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Cakrabirawa, yang merupakan pasukan elite pengawal Presiden, menyerbu rumah Jenderal AH Nasution.
Mereka datang dengan tujuan menculik sang Jenderal sebagai bagian dari upaya kudeta yang dirancang oleh PKI.
Ketika serangan berlangsung, Jenderal Nasution berhasil melarikan diri dengan melompat pagar.
Namun, putrinya yang berusia lima tahun, Ade Irma Suryani menjadi korban dari tembakan para tentara Cakrabirawa yang ganas.
Istri Jenderal Nasution, Johanna Sunarti Nasution, dengan penuh keberanian berusaha melindungi Ade Irma, tetapi peluru tetap menembus tubuh kecil putrinya.
Ade Irma yang masih polos tak memahami bahaya yang menimpanya, namun ia harus menerima nasib tragis sebagai korban dalam upaya kudeta yang brutal tersebut.
Ade Irma tertembak beberapa kali di bagian punggungnya dan mengalami luka parah yang akhirnya merenggut nyawanya.
Momen paling memilukan dari tragedi ini adalah ketika Ade Irma, dalam kondisi terluka parah, sempat mengucapkan kata-kata terakhir kepada keluarganya.
Dalam sebuah acara yang dilansir dari tayangan TV One, Hendrianti Sahara Nasution, kakak Ade Irma, memberikan pengakuan yang mengejutkan.
Ia menceritakan bagaimana adiknya, meski dalam kondisi terbaring lemah, tetap menunjukkan ketegaran yang luar biasa.
Dalam suasana penuh kepedihan, Ade Irma berkata kepada kakaknya, “Kakak jangan menangis, adik sehat.”
Ucapan ini menunjukkan betapa kuat dan dewasanya seorang anak kecil di tengah situasi yang sangat mencekam.
Tidak hanya itu, Ade Irma juga sempat bertanya kepada ibunya, Johanna Sunarti Nasution, tentang ayahnya.
Dengan lugu, ia bertanya, "Mama, kenapa Ayah ditembak?"
Pertanyaan ini membuat sang ibu terkejut dan sangat terpukul, karena di tengah situasi genting tersebut, Ade Irma masih memikirkan keselamatan ayahnya.
Setelah serangan tersebut, Johanna Sunarti segera membawa Ade Irma ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto.
Di tengah kekacauan, keluarga Nasution berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkan nyawa Ade Irma.
Dokter melakukan upaya keras dengan melakukan operasi untuk menyelamatkan gadis kecil itu.
Namun, luka yang diderita Ade Irma sangat parah, karena setidaknya tiga peluru bersarang di punggungnya.
Kakaknya, Hendrianti, kemudian menyusul ke rumah sakit dan menemukan adiknya sudah dalam kondisi penuh darah.
Saat itulah, Ade Irma memberikan kata-kata terakhir yang begitu menyentuh hati keluarga.
Meski dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, lima hari setelah penembakan, tepatnya pada 6 Oktober 1965, Ade Irma Suryani Nasution meninggal dunia.
Kematian Ade Irma Suryani Nasution menjadi salah satu simbol kepiluan akibat tragedi G30S PKI.
Seorang anak kecil yang seharusnya menjalani kehidupan dengan ceria dan penuh keceriaan, justru harus menjadi korban kekerasan yang mengerikan.
Ade Irma adalah korban termuda dari peristiwa tersebut, dan kisahnya terus dikenang sebagai bukti betapa kejamnya kudeta yang dilakukan oleh PKI.
Bagi Jenderal AH Nasution dan keluarganya, kehilangan Ade Irma tentu menjadi pukulan yang sangat berat.
Meskipun Jenderal Nasution berhasil selamat dari upaya penculikan, kehilangan putri tercintanya meninggalkan luka mendalam yang tak akan pernah hilang.
Kehilangan Ade Irma juga menjadi salah satu pengingat bagi bangsa Indonesia untuk terus menjaga keutuhan dan kesatuan negara dari ancaman-ancaman yang mengganggu stabilitas nasional.
Serangan G30S PKI di rumah Jenderal AH Nasution tidak hanya berakhir dengan pelarian sang Jenderal dari upaya penculikan.
Tetapi juga meninggalkan duka mendalam dengan gugurnya Ade Irma Suryani.
Ucapan terakhirnya yang penuh ketegaran dan kepolosan membuat banyak orang terenyuh dan menambah luka atas tragedi tersebut.
Jenderal AH Nasution menjadi salah satu saksi sekaligus pelaku sejarah pada saat terjadi peristiwa 1 Oktober 1965 dini hari itu.
Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi AH Nasution pangkat kehormatan menjadi Jenderal Besar TNI.
Hal ini sebagaimana tertuang dalam Keppres No 46/ABRI/1997, tanggal 30 September 1997.
Setelah tiga tahun dianugerahi gelar sebagai Jenderal Besar TNI, Jenderal A.H. Nasution meninggal dunia pada 6 September 2000, di Jakarta karena sakit. (adk)
Load more