tvOnenews.com - Kontroversi mengenai klaim Gus Miftah sebagai keturunan ke-9 Kiai Ageng Muhammad Besari terus menjadi perbincangan hangat.
Klaim tersebut mendapatkan tanggapan dari pihak keluarga keturunan ke-8 Kiai Ageng Muhammad Besari yang merasa perlu meluruskan informasi tersebut.
Gus Miftah, seorang pendakwah yang sering menjadi sorotan, sebelumnya menyatakan bahwa dirinya memiliki hubungan nasab dengan Kiai Ageng Muhammad Besari, seorang ulama besar dari Ponorogo, pendiri Pondok Pesantren Tegalsari.
Dalam sebuah video yang viral di media sosial, Gus Miftah menyatakan, “Kebetulan kiai, saya keturunan ke-9 dari Mbah Muhammad Besari.”
Ia juga memaparkan silsilah yang diakuinya, mulai dari Kiai Murodi, Muhammad Boniran, hingga Kiai Ageng Muhammad Besari.
Selain itu, ia mengklaim sebagai keturunan ke-18 dari Prabu Brawijaya dan keturunan ke-17 dari Raden Patah Demak.
Namun, klaim ini menuai keraguan dari berbagai pihak, terutama keluarga keturunan ke-8 Kiai Ageng Muhammad Besari.
Wirastho, salah satu anggota keluarga tersebut, menyatakan bahwa pihaknya tidak menemukan data yang mendukung klaim Gus Miftah.
“Kalau Gus Miftah mengaku keturunan Madarum, kata kami itu tidak ada,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan tvOneNews.
Ia menambahkan, “Putri eyang Ilyas itu tidak ada satu pun yang menikah dengan Kiai Madarum, atau putra dari Kiai Ilyas itu tidak ada yang bernama Kiai Madarum ataupun kalau di beberapa orang mengatakan Kiai Muhammad Abdurrahman. Sehingga kalau dikatakan apa keturunan? Sesuai data yang kami miliki, itu tidak ada.”
Wirastho menjelaskan bahwa keluarga memiliki tradisi terbuka bagi siapa saja yang ingin mengaku sebagai bagian dari keluarga, baik secara genetik maupun keilmuan.
Namun, ia menegaskan pentingnya menjaga nama baik leluhur agar tidak disalahgunakan.
“Ketika nama beliau ini atau leluhur kita ini dimanfaatkan untuk kebaikan, nggak apa-apa. Tetapi kalau digunakan untuk hal yang negatif, ini yang perlu kita awasi,” katanya.
Menurut Wirastho, pihak keluarga selama beberapa tahun terakhir telah berupaya menjaga silsilah keluarga agar tidak disalahartikan.
Ia juga mengundang siapa saja yang mengaku keturunan Kiai Ageng Muhammad Besari untuk datang langsung ke Ponorogo guna mendiskusikan silsilah secara lebih rinci.
Langkah ini dianggap penting untuk meluruskan informasi yang beredar di masyarakat.
Kiai Ageng Muhammad Besari sendiri adalah tokoh yang sangat dihormati dalam sejarah Islam di Nusantara. Lahir pada tahun 1729, ia adalah putra dari Kiai Anom Besari.
Sebagai seorang bangsawan, ia memilih hidup sederhana dan mendirikan Pondok Pesantren Tegalsari, yang dikenal sebagai salah satu pesantren tertua di Indonesia.
Ajaran-ajaran Kiai Ageng Muhammad Besari masih dipegang teguh oleh para santrinya hingga saat ini.
Kontroversi ini juga muncul di tengah sorotan terhadap Gus Miftah yang sebelumnya viral karena mengolok-olok penjual es teh bernama Sunhaji dan merendahkan komedian senior Yati Pesek.
Klaim nasab yang disampaikan Gus Miftah semakin menambah polemik di mata publik. Wirastho berharap agar masyarakat dapat bijak dalam menyikapi isu ini.
Ia mengatakan bahwa keluarga besar Kiai Ageng Muhammad Besari tidak ingin melarang klaim siapa pun, tetapi lebih menekankan pentingnya kejujuran dan penghormatan terhadap leluhur.
“Lebih kepada permintaan menyadari isu dan masyarakat juga akan mengambil kesimpulan dari apa-apa yang disuarakan banyak orang,” ujarnya.
Dalam tradisi Islam, nasab merupakan hal yang sangat dihormati dan dijaga. Oleh karena itu, klaim terhadap hubungan nasab biasanya didukung oleh bukti yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam kasus ini, pihak keluarga besar Kiai Ageng Muhammad Besari merasa penting untuk meluruskan informasi demi menjaga warisan leluhur tetap dihormati.
Meski demikian, Wirastho juga menekankan bahwa klaim Gus Miftah tidak harus menjadi bahan permusuhan.
Sebaliknya, ia mengajak semua pihak untuk berdialog dan memverifikasi informasi dengan cara yang baik.
“Kami terbuka bagi siapa saja yang ingin mengonfirmasi silsilah. Ini demi menjaga keutuhan tradisi dan nama baik leluhur,” tutupnya.
Dengan demikian, polemik ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga integritas dalam mengklaim hubungan nasab, terutama terhadap tokoh besar seperti Kiai Ageng Muhammad Besari.
Keterbukaan keluarga untuk mendiskusikan dan meluruskan informasi menunjukkan sikap yang patut dihargai dalam menjaga nama baik leluhur dan warisan sejarah Islam di Indonesia. (udn)
Load more