Semarang, Jawa Tengah - Ramadhan di Kota Semarang, Jawa Tengah, punya warna yang berbeda. Di sinilah akulturasi budaya menjadi ciri khas warga saat menyambut bulan suci. Keragaman budaya hidup erat berdampingan sejak lama di kota ini. Dan itu disimbolkan dengan sebuah replika binatang bernama warak.
Bentuknya berupa perpaduan binatang kambing yang melambangkan budaya Jawa dan binatang onta yang melambangkan budaya Arab.
Setiap akan memasuki bulan Ramadhan warak pun banyak dibuat. Karena replika binatang rekaan ini akan dipakai untuk hiasan arak-arakan menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.
Bicara warak tak bisa lepas dari Kampung Purwodinatan Kota Semarang. Di sinilah warga secara turun temurun menjadi perajin warak. Menurut Agung, salah satu perajin warak sekaligus tokoh budaya setempat, warak mempunyai banyak filosofi.
"Ya, visualisasi warak itu harus ngendit, ngendog, dan ngeden. Itu menggambarkan nilai filosofi maisng-masing," jelas Agung.
Ia merinci, ngendit itu seperti ada semacam garis di pinggang yang menurut marwah para ulama diberi garis hitam, itu melambangkan mengikat nafsu dan amarah.
"Kemudian ngeden, ya badan, ekor, leher, kaki itu kaku, bulunya juga kaku menghadap ke atas yang melambangkan menahan sikap waktu bulan puasa. Terus ada ngendog atau bertelur di bawahnya, yang artinya semua ibadah itu akan menghasilkan yang baik," jelasnya.
Warak dibuat dalam beberapa ukuran. Untuk yang kecil dipakai untuk mainan anak-anak. Sedang yang besar untuk keperluan karnaval.
Warak-warak mainan ini sangat disukai anak-anak. Makanya para perajin membuatnya lebih banyak.
"Terutama pesanan dari pedagang yang menggelar lapak di pasar malam dugderan sebelum masuknya bulan Ramadhan. Sebagian lainnya adalah pesanan dari beberapa sekolah dan instansi yang akan mengikuti arak-arakan dan pawai menjelang Ramadhan. Tapi tahun ini kita belum tahu apakah karnaval diadakan," ungkapnya.
Dalam versi yang lain menurut berbagai literatur, warak punya kepala berbentuk naga. Ini juga merupakan sebuah akulturasi budaya. Sebab di Semarang pada perkembangan selanjutnya juga hidup masyarakat etnis Tionghoa. Sebagian dari mereka juga muslim. Maka warak pun menjadi simbol perpaduan tiga budaya. Yaitu Arab, Jawa, dan Tionghoa.
Menjelang Ramadhan adalah masa panen perajin warak. Meski tak sebanyak masa jayanya dulu, namun masih cukup lumayan juga. Minimal perajin bisa membuat 200 warak berbagai ukuran. Yang paling kecil tingginya 50 senti. Yang besar antara 2 hingga tiga meter.
"Bahan utama yang dipakai adalah kertas dan kayu, untuk membentuk badan dipakai kertas kardus, dan kerangkanya memakai kayu bekas kotak. Semuanya dirangkai membentuk replika binatang warak. Untuk bulu-bulunya, bahan yang dipakai adalah kertas minyak," kata Arief, perajin lainnya.
Perajin menerima pesanan membuat warak sesuai permintaan. Baik ukuran, bentuk, warna, dan variasi hiasan. Harganya menyesuaikan pesanan. Untuk ukuran kecil lima puluh ribu rupiah. Sedangkan yang besar bisa jutaan. (Teguh Joko Sutrisno/Buz)
Load more