Pada 1912, di Surabaya ada larangan penggunaan petasan. Masyarakat dari Tionghoa yang sedang merayakan Imlek tidak setuju, karena menurut kepercayaan mereka petasan dan kembang api merupakan simbol untuk mengusir roh jahat sekaligus dapat membawa berkat an kebahagiaan pada tahun yang akan datang.
Pelarangan tetap berlanjut hingga memicu konflik sosial politik. Hal tersebut disampaikan Marieke Bloembergen lewat buku Polisi zaman Hindia Belanda: dari kepedulian dan ketakutan (2011).
Larangan serupa juga pernah diberlakukan pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Indonesia setelah merdeka.
Tapi kebiasaan membakar petasan tetap saja sulit dihilangkan, terlebih pada saat perayaan Tahun Baru, Imlek, dan Lebaran, juga dalam tradisi masyarakat. Dalam pesta-pesta hajat seperti perkawinan, khitanan, dan maulid, misalnya, petasan untuk meramaikan suasana.
Sejarawan Alwi Shabab menduga tradisi membakar petasan itu berasal dari tradisi orang China yang bermukim atau tinggal di Jakarta.
Orang-orang China tempo dulu biasanya menggunakan petasan sebagai alat komunikasi untuk mengabarkan adanya pesta atau suatu acara besar. Rentetan bunyi petasan dalam sebuah pesta hajat dapat dijadikan simbol status sosial seorang masyarakat, dan juga menjadi penanda rasa syukur.
Begitulah awalnya, bagaimana petasan dan kembang api tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat kita. Menurut Alwi Shahab, seorang pengamat sejarah Betawi, dekatnya tradisi Tionghoa dengan kehidupan sehari-hari pribumi berhasil membuat petasan cepat diadaptasi. (mg4/ito)
Load more