Jakarta- Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan baru-baru ini mengomentari fenomena Citayam Fashion Week. Sebutan itu muncul saat remaja asal Citayam dan sekitarnya yang 'menguasai' kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat dengan berbagai gaya pakaian mereka yang unik.
Anies juga membuat plesatan fenomena yang viral bernama Citayam Fashion Week dengan akronim SCBD, kepanjangan "Sudirman Central Business Distric" sebagai kawasan pusat perkantoran itu menjadi "Sudirman Citayam Bogor Depok".
Menurut Anies, fenomena SCBD merupakan bentuk demokratisasi yang dibangun negara dalam memberi ruang alternatif pada semua kalangan masyarakat untuk berinteraksi dan berkegiatan yang disebut ruang ketiga.
"Sebagai sebuah pengalaman, siapa saja silakan datang. Saya mengistilahkan demokratisasi Jalan Jenderal Sudirman, karena menjadi milik semua, siapa saja bisa datang menikmati," kata Anies pada awak media beberapa waktu lalu.
Anies mengatakan dibangunnya ruang-ruang publik menjadi ruang ketiga ini juga untuk menyetarakan seluruh elemen masyarakat. Menurutnya dengan keberadaan ruang publik ini seluruh pihak bisa menikmatinya.
Dia mengungkap, sebelum muncul ruang publik dan trotoar yang luas, Jalan Jenderal Sudirman hanya dimiliki oleh orang-orang kantoran yang bekerja di kawasan tersebut. Sementara, orang-orang yang tidak bekerja di kawasan tersebut tidak bisa menikmatinya.
Dalam beberapa tahun terakhir, Anies menyebut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga telah membangun dan merevitalisasi ruang publik dengan agar dapat semakin membuat masyarakat nyaman.
"Wujud 'ruang ketiga' di Jakarta ini meliputi 296 taman kota, 29 hutan kota, dan 154 jalur hijau yang dibangun sejak 2018-2021,"ungkap Anies dalam chanel YouTubenya, dikutip Rabu, (14/7/2022).
Apa Itu 'Ruang Ketiga'?
Dalam ilmu sosiologi istilah 'ruang ketiga' (third place) pertama kali dicetuskan oleh Sosiolog asal Amerika, Ray Oldenburg lewat bukunya yang bertajuk The Great, Good Places (1989).
Kebutuhan akan tempat ini menurut Oledenburg bermula dari revolusi industri di Amerika Serikat lewat pemisahan tempat tinggal (ruang pertama) dan tempat bekerja (ruang kedua) yang berada di kawasan industri.
Berangkat dari kebutuhan sosial mereka kemudian membuat tempat-tempat berkumpul dan bersosialisasi yang jauh dari tempat tinggal dan bekerja. Di Amerika, ruang terbuka tersebut menjelma taman, plaza atau sekedar trotoar.
Dok. Antara
Sementara di belahan dunia lain wujud itu juga menjelma jadi kebutuhan yang berbeda seperti taman bir yang populer di Munich, Jerman, Main Street atau jalan utama dan Pup di Inggris Raya hingga Kafe di Prancis.
Lambat laun dalam perkembangannya, di masyarakat urban ruang ketiga juga terus bertransfomasi dalam bentuk fungsionalitas sebagai tempat yang membantu perkembangan komunitas dalam membangun komunikasi antar sesama.
Apakah Fenomena SCBD akan Menjadi Seperti Harajuku?
Di negara-negara yang telah disebutkan, gerakan pop hingga subkultur juga turut hadir seiring perkembangan ruang ketiga sebagai ajang berkomunikasi dan bersosialisasi tanpa sekat.
Di Jepang misalnya, fenomena yang hampir mirip dengan SCBD pernah terjadi di kisaran 1980-an, dimana para artis muda dan seniman jalanan berpakaian 'bebas' dan berkumpul di distrik Omotesando.
Omotesando adalah sebuah jalanan yang diisi deretan kafe dan butik mode kelas atas. Daerah ini pun populer dikalangan masyarakat kelas atas. Namun pada hari Minggu, jalan ini ditutup dan berubah menjadi kawasan pejalan kaki.
Perlahan di distrik ini kemudian menjadi tempat berkumpul favorit anak-anak muda dengan pakaian mereka yang nyentrik dan aneh lewat berbagai eksplorasi yang menggabungkan mode berpakaian berwarna cerah pada saat itu.
Lantas apakah fenomena di SCBD akan menjadi semacam subkultur baru seperti Harajuku di Jepang? (pag/ebs)
Load more