Jakarta- Fenomena Citayam Fashion Week (CFW) tentu masih hangat di telinga kita. kegiatan yang dilakukan remaja-remaja dari pinggiran Jakarta untuk saling unjuk gigi memamerkan outfit di kawasan MRT Dukuh Atas, Jakarta ini sukses menarik perhatian netizen.
Sontak, tidak hanya remaja dari kota-kota penyangga di Ibu Kota yang datang menyerbu dan berbondong-bondong memadati kawasan yang sebelumnya hanya dimiliki kelompok pekerja di kawasan Sudirman itu, melainkan juga dari wilayah lain di sekitaran Jakarta.
Sebut saja, Faris, dan Reni yang sengaja menuju Dukuh Atas untuk ikut mengekspresikan diri dan menyaksikan langsung fenomena Citayam Fashion Week. Meski di tempat tinggal mereka terdapat ruang terbuka hijau yakni Tebet Eco Park, namun tak urung dua pekerja kantoran itu tergugah untuk datang ke kawasan yang tengah viral ini.
“Ya sengaja datang ke sini karena ingin ketemu Jeje sama Bonge. Tapi dari tadi ditungguin nggak nongol-nongol,” papar dua muda-mudi yang ditemui tvonenews, Minggu, (17/7/2022) saat sedang memadu kasih sambil meminum es kopi itu.
Remaja 'SCBD (tim tvOne/Julio Trisaputra)
Kemudahan Akses dan Murah di Ongkos
Kawasan Dukuh Atas memang Sedang dikembangkan sebagai Transit Oriented Development (TOD), atau sistem transportasi yang mempertemukan lima jenis transportasi publik (MRT, Transjakarta, Kereta bandara, Commuter Line, dan LRT Jabodetabek). Dengan begitu akhirnya memudahkan para remaja untuk nongkrong di sana dengan ongkos yang murah.
Putra, remaja kelas IX di salah satu sekolah kawasan Jakarta Utara bersama teman-temannya yang bermodalkan uang Rp20.000 nekat menyambangi tempat tersebut.
Mereka mengaku menggunakan moda Transjakarta dengan patungan untuk dapat berswafoto di Dukuh Atas meski tidak ada yang membawa handphone.
“Ini dari Jakarta Utara bang, tadi naik Transjakarta,” papar Putra yang ditemui saat menghadang Starling (Starbuks Keliling) untuk membeli minuman dingin seharga Rp4.000. Dari sisa kembalian, ia juga mencomot kacang goreng dan dimakan bersama yang lain.
Remaja 'SCBD (tim tvOne/Prasetyo Agung G.)
Selain ditunjang mudahnya transportasi publik, adanya penjaja makanan macam starling sebenarnya turut membuat anak-anak remaja tersebut tidak perlu merogoh kocek mendalam untuk sekedar ngopi atau makan ringan bila dibandingkan harus ke mall.
Ketika kami mengunjungi tempat ini, kami pun mahfum kenapa anak-anak tersebut betah berlama-lama untuk nongkrong menunjukkan eksistensi dengan berswafoto, membuat konten, atau sekedar menjadi bagian fenomena CFW dengan berjalan hilir-mudik sepanjang trotoar.
Adanya lanskap latar belakang gedung-gedung perkantoran yang menjulang tinggi dan tidak dimiliki kawasan di kota penyangga Jakarta juga turut melengkapi kebutuhan feed yang instagrammable bagi mereka.
Kebutuhan Ruang Publik yang Inklusif
Keberadaan ruang publik yang inklusif bagi semua golongan tentu menjadi PR bersama bagi pemerintah dalam menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) yang berguna sebagai ruang berekspresi dan menjalin komunikasi tanpa intervensi dari pihak manapun.
Fenomena munculnya CFW menurut beberapa pakar memang menjadi gambaran kurang tersedianya ruang publik yang inklusif, baik di dalam atau luar Jakarta, khususnya masayarakat kelas menengah ke bawah dalam mengaktualisasikan diri mereka.
Pengamat Tata Kota Nirwono Yoga mengungkap, hadirnya CFW seharusnya mendorong pemda di kawasan penyangga Jakarta, termasuk Citayam, Bojong Gede (Kab Bogor) dan Depok, untuk menyediakan ruang-ruang publik yang inklusif bagi semua orang.
“Menilik fenomena ini seharusnya mendorong Pemerintah Kota di pinggiran Jakarta untuk menyediakan ruang publik atau taman-taman lebih banyak serta menarik dengan desain kekinian,” papar Nirwono pada tvonenews Minggu, (17/7/2022).
Dia mengungkap saat ini juga menjadi momentum yang tepat bagi Pemkot setempat untuk membuka ruang publik yang berkualitas dengan berbagai kegiatan anak muda yang dapat diakses semua kalangan.
“Dengan adanya ruang publik yang gratis, dan strategis (mudah dicapai), sehingga jika mereka ingin berkegiatan tidak perlu ke Dukuh Atas (Jakarta),” tandas Dosen sebuah Universitas Swasta di Jakarta Barat itu.
Dari hasil penelitian, kebutuhan RTH di Jakarta setidaknya harus memiliki luas 30 persen sesuai amanat undang-undang dari luas administrasi kota, namun kebutuhan itu hanya dapat dipenuhi oleh Pemprov kurang dari 10 persen.
Sementara itu, secara umum akses ruang terbuka hijau di kota-kota penyangga Ibu kota hanya memiiliki RTH di kisaran 6 hingga 7 persen dari total luas wilayah.
Ini tentu tidak bisa dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di dunia seperti Moskow yang memiliki 54 persen dari total kebutuhan, Singapura 47 persen, hingga Sidney 46 persen dari total kebutuhanan RTH. (pag/ebs)
Load more