"Namun kalau sudah diniatnya, meskipun kalimatnya belum jelas, atau ada kata cerai, atau menyebutkan aku pulangkan engkau kepada orang tua mu, dan ada niat menceraikan, maka jatuh cerai tersebut," jelasnya.
Sambungnya menjelaskan kembali, apabila ada wanita yang dijatuhkan talak satu, itu statusnya masih masih sebagai istri atau masih ada ikatan. Akan tetapi, tidak diperbolehkan berhubungan istri.
"Namun, apabila pada talak satu, kemudian ada di antaranya yang meninggal, itu bisa saling mewarisi. Cerai satu, cerai dua hingga masa iddah berakhir," bebernya.
Akan tetapi, apabila talak 3 (tiga) dijatuhkan pada masa iddah sang istri, mak jatuh yang ketiga. Baik rujuk atau tidak rujuk.
"Anda bisa mengukur, kalau perceraiannya dengan kalimat kinayah, dengan kalimat 'kita pisahan saja' kalimat itu multitafsir namun niatnya menceraikan, maka jatuhlah cerai. Tetapi kalau tidak niat, maka tidak jatuh perceraian atau talak, karena kalimat tadi multi tafsir," katanya.
Kemudian, ia katakan, sebelum habis masa idah, sudah melakukan rujuk, itu diperbolehkan dan tidak harus ada kesepakatan seorang istri.
"Dan tak harus dengan kesepakatan istri kalau suami ingin rujuk jiak itu masih talak satu dan dua atau cerai pertama dan kedua. Suami bisa berkata langsung rujuk kepada istrinya dan bisa menggauli istrinya lagi," tutur Buya Yahya.
Sambungnya menuturkan, jika suami sudah selesai menggauli istrinya, maka masa idah seorang istri sudah berakhir. Namun, setelah rujuk diceraikan kembali.
"Tak taunya setelah rujuk, diceraikan lagi. Ini lah contoh orang bingung. Namun, setelah rujuk cerai lagi, masa idah sang istri kembali lagi yang baru, bukan merujuk dari masa cerai sebelumnyam," terangnya.
Dalam kasus perceraian dan jatuh talak ini juga, Buya Yahya berpesan kepada asatidz, bahwa dalam urusan cerai mencerai jangan mudah menghukum pada asatidz. Para asatidz, ia katakan, harus mendudukan dari kedua belah pihak.
"Anda para asatidz harus menduduk kedua belah pihak, apa yang menjadi persoalan tersebut. Sebab alasan suami berbeda dengan kupingnya istri yang sudah enek dengan kalimat sang suami dan bisa mengartikan perceraian dan berharap diceraikan. Makanya harus didudukan keduanya dan harus didengar omongan dari kedua pihak," pesannya.
Namun, kalau sudah didudukan kedua belah pihak tidak ada kecocokan, dan sudah ada kesepakatan, maka bisa dihukumi cerai. Akan tetapi, ia ingatkan juga para asatidz jagan gampangan untuk menghukumi cerai.
"Jadi seorang ustaz jangan gampang menghukumi cerai dan jangan mendengar dari pengakuan suami saja melainkan dari sang istri juga harus didengarkan, apabila ini di dalam sebuah permasalahan," pungkasnya. (aag/viva/ant/muu)
Load more