Jakarta - Quiet quitting berakar dari kekecewaan karyawan akan minimnya penghargaan perusahaan atas usaha yang mereka telah berikan, terutama di saat pandemi dimana efisiensi pegawai berimbas pada menumpuknya volume kerja di karyawan yang tersisa.
Selain itu, quiet quitting timbul di tengah semakin sadarnya karyawan akan pentingnya menghindari burnout dengan bekerja seimbang.
“Fenomena quiet quitting menangkap perhatian berbagai perusahaan, yang mencoba menelaah imbas fenomena tersebut pada produktivitas bisnis," kata Arvy Egadipoera, Chief Customer Officer (CCO) Mekari dalam siaran resmi, Rabu.
"Sebetulnya, dengan cara pandang dan pendekatan yang tepat, quiet quitting bisa menjadi kesempatan bagi perusahaan untuk mengulas kembali sistem dan kebijakan kepegawaian untuk melihat bagaimana perusahaan bisa memperkuat kepuasan kerja karyawan,” kata Arvy.
Ia menjelaskan, Mekari merupakan perusahaan software-as-a-service (SaaS) yang menyediakan rangkaian solusi digital untuk pengoperasian bisnis, termasuk Mekari Talenta sebagai solusi human resources (HR) terintegrasi.
Mekari Talenta memungkinkan perusahaan untuk mengatur kepegawaian, mulai dari administrasi, pembayaran gaji hingga pengembangan karir, secara efisien dan otomatis.
Arvy menambahkan bahwa solusi digital juga mempermudah perusahaan dalam menghargai performa kerja, sehingga karyawan termotivasi untuk berkarya. Ia pun membagi tips bagaimana perusahaan bisa menggunakan solusi digital untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawan, dengan demikian mencegah quiet quitting. (ant/mii)
Load more