3. Tidak wajib membayar qadha puasa secara berturut-turut, boleh saja secara terpisah. Karena dalam ayat diperintahkan dengan perintah umum,
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Yaitu dalam beberapa hari yang tertentu, maka wajiblah baginya berpuasa, sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqadha’ puasa) tidak berurutan.” (Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad- dan juga dikeluarkan oleh Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya, 4:241,243, dengan sanad yang sahih).
4. Qadha puasa tetap wajib berniat di malam hari sebelum Shubuh sebagaimana kewajiban dalam puasa Ramadhan.
Puasa qadha harus ada niat di malam hari sebelum Shubuh, berbeda dengan puasa sunnah yang boleh berniat di pagi hari.
Dari Hafshah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” HR. Abu Daud, no. 2454; Tirmidzi, no. 730; An-Nasai, no. 2333; dan Ibnu Majah no. 1700.
Para ulama berselisih apakah hadits ini marfu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah mauquf hanya sampai pada sahabat.
Yang menyatakan hadits ini marfu adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, An-Nawawi. Sedangkan yang menyatakan hadits ini mauqufadalah Al-Imam Al-Bukhari dan itu yang lebih sahih. Lihat Al-Minhah Al-‘Allam fii Syarh Al-Bulugh Al-Maram, 5:18-20.
Adapun puasa sunnah seperti puasa Syawal boleh berniat dari pagi hari hingga waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.
Load more