Semarang, tvOnenews.com - Langgar adalah sebutan khas di Jawa untuk tempat sholat kecil atau mushola.
Nah, di Kota Semarang, Jawa Tengah yang merupakan salah satu daerah penyebaran agama Islam pada beberapa abad lalu, banyak tempat bersejarah yang menjadi bukti jejak penyebaran Islam.
Yaitu mushola atau langgar di Gang Gandekan. Warga sekarang menamainya Mushola atau Langgar Al Yahya.
Jaman itu masjid kecil atau mushola di Jawa memang disebut langgar. Kalau di luar Jawa ada yang menyebutnya surau.
Langgar Al Yahya ini berada di Gang Kampung Gandekan, Kelurahan Jagalan, Kecamatan Semarang Tengah.
Posisinya agak "nyelempit" di tengah perkampungan padat. Meski begitu bangunan langgar ini mudah dikenal karena bentuk dan arsitektur bangunannya sangat khas dan berbeda dengan bangunan di sekitarnya.
Bagian atap langgar sangat kental dengan ciri masjid Jawa pada waktu itu yang meniru Masjid Demak, yaitu atap tajuk atau tumpuk tiga dengan bagian paling atas dipasang mustaka.
Kemudian pada tepian genting diberi hiasan lisplang kayu berukir. Seluruhnya masih asli sejak awal berdiri kecuali genteng yang sudah diganti.
Bangunan utama langgar ini berukuran 4x5 meter persegi saja.
Dindingnya berupa tembok tebal yang dibuat dari batubata yang direkatkan dengan serbuk tanah liat kering. Lalu ditutup dengan plester pasir dan serbuk batubata tanpa semen, dan dicat warna putih.
Sedangkan plafon, daun pintu dan jendela serta langit-langit terbuat dari kayu jati tua dan tebal yang masih utuh dan kokoh. Semuanya dicat warna hijau, kecuali langit-langit dicatat coklat muda.
Saat masuk ke langgar pada Ramadhan ini, tvOnenews.com bertemu dengan Sugito, pengurus Langgar Al Yahya. Ia menceritakan sejarah langgar ini yang dibangun sejak 1815.
"Ini wakaf dari Pak Tasripin," kata Sugito memulai ceritanya.
Tasripin adalah saudagar pribumi yang tercatat sebagai salah satu orang terkaya di Semarang pada masa itu.
Ia dikenal sebagai tuan tanah yang memiliki banyak rumah dan toko di Semarang. Ia juga punya usaha di bidang perdagangan kulit, hasil bumi, dan lain-lain.
Saat itu pekerjanya tinggal di sekitar gudang dan pabrik milik Tasripin. Lama-lama menjadi pemukiman padat hingga sekarang.
"Makanya di sini ada Kampung Kulitan yang dulu merupakan pabrik dan gudang kulit milik Pak Tasripin. Waktu itu banyak pekerja yang butuh tempat sholat, maka Pak Tasripin membuat langgar yang sekarang namanya mushola. Dulu Mushola Al Mutaqien, sekarang diganti Mushola Al Yahya," jelas Sugito.
Saat masuk bagian dalam, tvOnenews.com melihat daun pintu berukuran tinggi lebih dari 2 meter, dihiasi ukiran pada bagian ujungnya.
Ketuaan kayunya bisa dilihat dari bagian pinggir pintu yang tergerus dan aus berkerut.
Kemudian daun jendela terpasang dobel, pada bagian daun jendela dalam dipasang kaca patri warna warni.
Kaca ini menjadi ciri khas pada bangunan tua yang ada di Semarang.
Pada ruang imam, temboknya dilapis porselen tua. Di depannya ada tangga kayu yang nyaris tegak lurus, terhubung dengan rongga atap.
Tangga ini dipakai saat takmir masjid akan memperbaiki pengeras suara maupun perbaikan genteng dan lain-lain.
"Di sini semua mengandalkan amal dari warga maupun yang datang ke mushola lewat kotak amal maupun donatur langsung. Tentu beda dengan masjid, ini mushola kecil jadi yang kita semampunya merawat langgar bersejarah ini," kata Sugito.
Di bulan Ramadhan, mushola digunakan untuk berbagai kegiatan seperti shalat tarawih, tadarusan, berbuka puasa, dan malam takbiran.(tjs/muu)
Load more