Para ulama bersepakat bahwa di antara hal-hal yang membatalkan itikaf adalah ketika seseorang keluar dari masjid, tanpa adanya kebutuhan yang dibolehkan oleh syariat, misalnya kebutuhan mengambil makan maka diperbolehkan.
Ilustrasi (pexels)
Ditinjau dari hukum asalnya, itikaf adalah ibadah yang sunnah (mustahab) dilakukan.
Hal tersebut merujuk pada sabda Rasulullah SAW:
“Sungguh saya beritikaf di di sepuluh hari awal Ramadhan untuk mencari malam kemuliaan (lailat al-qadr), kemudian saya beritikaf di sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian Jibril mendatangiku dan memberitakan bahwa malam kemuliaan terdapat di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Barangsiapa yang ingin beritikaf, hendaklah dia beritikaf (untuk mencari malam tersebut). Maka para sahabat pun beritikaf bersama beliau.” (HR. Muslim).
Dalam hadits di atas, para sahabat diberikan pilihan oleh Rasulullah SAW untuk melaksanakan itikaf.
Sikap tersebut merupakan indikasi bahwa itikaf melihat pada asalnya tidak wajib. Namun, status sunnah ini dapat menjadi wajib apabila seorang bernadzar untuk beritikaf.
Sebagaimana yang disandarkan melalui hadits ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah bersabda,
“barangsiapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dia wajib menunaikannya.” (HR. Bukhari).
Sejalan dengan hadis di atas, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath al-Bari mengatakan Itikaf tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan itikaf.
Wallahua'lam
Load more