Bahkan kata KH Haris Hakam, istri itu berhak untuk melakukan khulu atau menceraikan suaminya.
“Kan di Indonesia saat pernikahan ada pembacaan taklik, setelah menikah suami itu mengatakan apabila saya meninggalkan istri saya 2 (dua) tahun berturut-turut; tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya; menyakiti badan/jasmani istri saya, atau membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya 6 (enam) bulan atau lebih; Kemudian istri saya mengadukan ke pengadilan, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya,” tandas KH Haris Hakam.
Maka berdasarkan itu, kata KH Haris Hakam, sebenarnya wanita bisa mencerai suaminya.
“Adapun kebolehan memukul, wanita itu sama seperti anak kecil yang tidak mau shalat,” kata KH Haris Hakam.
“Dia dipukul tidak boleh sampai luka, dipukul pantat atau betis, tidak menyakiti, maka ia akan ingat terus tangan ayahnya,” tambah KH Haris Hakam.
Sementara merujuk dengan kondisi sekarang, KH Haris Hakam mengatakan bahwa memukul tidaklah boleh dilakukan.
“Ada kaidah unsur fiqih yang mengatakan konvensi bangsa, kesepakatan bangsa, hukum yang diatur oleh sebuah bangsa adalah ketetapan hukum yang harus dihormati,” jelas KH Haris Hakam.
“Karena ada UU no 1 tahun 74, kemudian PP 10 yang mengatur tentang hubungan ini termasuk ketentuan sifat taklik tersebut maka tak boleh suami melakukan itu,” jelas KH Haris Hakam.
Oleh karena itu, kata KH Haris Hakam, jika istri dipukul oleh suaminya maka hendaknya melaporkannya dan menuntutnya ke pengadilan.
Load more