tvOnenews.com - Budaya tahlilan begitu melekat bagi sebagian masyakarat Indonesia untuk mendoakan orang meninggal dunia baik keluarga, saudara, maupun tetangga terdekat.
Namun bagi sebagian ulama tahlilan dianggap sebagai sesuatu yang memberatkan keluarga yang ditinggalkan.
Pasalnya, tak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan acara tahlilan dari mulai hari pertama, tujuh hari, empat puluh hari dan seterusnya.
Akan tetapi ada sebagian juga yang berpendapat bahwa jika keluarga yang ditinggalkan tergolong mampu, tahlilan dipandang sebagai salah satu bentuk sedekah.
Dilansir dari YouTube Usman Ponorogo, Kamis (21/12/23) berikut adalah penjelasan Ustaz Adi Hidayat soal tahlilan ditinjau dari NU dan Muhammadiyah.
Tahlilan umumnya diselenggarakan di rumah almarhum atau seseorang yang meninggal dunia dengan membaca surat Yasin dan doa tahlil bersama-sama.
Bagi sebagian orang, tahlilan dipandang sebagai sarana untuk mengirim doa kepada orang meninggal agar dimudahkan jalan menuju Allah SWT.
Acara tahlilan yang umum dilakukan yakni pada hari pertama kematian, bahkan sampai seribu hari setelahnya.
Tak sedikit pula masyarakat yang melakukan tahlilan dengan terpaksa karena dianggap sebagai budaya yang harus diselenggarakan jika ada anggota keluarga yang meninggal dunia.
Pengikut organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) diketahui yang kerap melaksanakan acara tahlilan.
Sedangkan pengikut organisasi Muhammadiyah itu tergolong jarang yang melakukan acara tahlilan.
Lantas bagaimana pendapat Ustaz Adi Hidayat soal tahlilan?
Ustaz Adi Hidayat dalam salah satu ceramahnya menjelaskan tentang acara tahlilan menurut NU dan Muhammadiyah.
Ustaz asal Pandeglang ini menyampaikan bahwa sebelumnya ia sudah melakukan riset mendalam soal tahllilan dalam ilmu fiqih.
Menurut hasil risetnya, dalam ilmu fikih, budaya tahlil itu tidak jauh diantara keduanya.
"Tahlilan misalnya. Bedanya Muhammadiyah sama NU kan harakat ya. NU pake nasab, Muhammadiyah pake rofa' ya," papar Ustaz Adi Hidayat.
"Nasob harokatnya fathah, orang Arab itu kan kalo bilang nasoba. Jadi kalo tahlilan menggunakan metode NU, mayatnya jadi jenazah, masuk ke alam kubur (nasoba)," sambungnya.
"Lalu untuk memberikan fatihah dan turunannya, skemanya masukkan fatihah lewat tahlilan," terangnya menambahkan.
Hasil risetnya menunjukkan bahwa ada perbedaan antara NU dan Muhammadiyah soal nasob tahlilan.
"Muhammadiyah cuma pake rofa', pas ditarik (nyawa). Makanya Muhammadiyah menggunakan rofah tahlilun, NU menggunakan nashab tahlilan," pungkas Ustaz Adi Hidayat.
Ustaz Adi Hidayat kemudian menyampaikan bahwa KH Ahmad Dahlan tidak pernah mempersoalkan tentang tahlilan dalam Muhammadiyah.
Setelah Ustaz Adi Hidayat menelusuri akar perbedaan pendapat ini, ternyata ia menemukan bahwa yang jadi masalah bukan ilmu fiqihnya.
Permasalahannya yaitu ada sebuah kasus di masyarakat yang ternyata tidak punya materi soal menyelenggarakan acara tahlilan.
Sehingga orang yang ditinggalkan harus berutang kepada tetangganya untuk mewujudkan tahlilan demi almarhum.
"Maka kalau tak punya uang, jangan dipaksakan ke tetangganya sehingga berutang," ujarnya.
"Bukan masalah tahllilannya, cuma memang bab nya belum selesai. Kalau memang tak punya uang, kenapa Anda tidak pinjami atau berikan saja," terang Ustaz Adi Hidayat.
Ustaz Adi Hidayat juga menegaskan bahwa ada turunan informasi soal budaya tahlilan dari kalangan atas yang belum tuntas sampai ke bawah.
Menurutnya, informasi dari kalangan elit tak sampai ke masyarakat akar rumput, sehingga menyebabkan misinformasi soal budaya tahlil.
"Qunut misalnya, di Muhammadiyah tidak ada masalah qunut. Saya belum pernah menemukan ada orang di majelis tarjih memfatwakan qunut itu bid'ah. Nda ada, kecuali wahabi," pungkas Ustaz Adi Hidayat.
(udn)
Baca artikel tvOnenews.com terkini dan lebih lengkap, klik google news.
Load more