Aisyah berpandangan bahwa puasa sunnah bagi orang yang mempunyai tanggungan puasa wajib hukumnya tidak diperbolehkan, sedangkan ia mulai bulan Syawal sampai bulan Rajab masih mempunyai utang puasa wajib.
قَوْلُهُ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ اسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى أَنَّ عَائِشَةَ كَانَتْ لَا تَتَطَوَّعُ بِشَيْءٍ مِنَ الصِّيَامِ لَا فِي عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ وَلَا فِي عَاشُورَاءَ وَلَا غَيْرِ ذَلِكَ وَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى أَنَّهَا كَانَتْ لَا تَرَى جَوَازَ صِيَامِ التَّطَوُّعِ لِمَنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ مِنْ رَمَضَانَ
Artinya: “Penjelasan tentang redaksi ‘Saya tidak mampu menunaikan qadha puasa tersebut kecuali di bulan Syaban.’ Menunjukkan bahwa Aisyah tidak pernah melakukan puasa sunnah sekalipun baik 10 hari bulan Dzulhijjah, tidak pula 10 hari di bulan Asyura’ dan lain sebagainya.
Hal ini berdasarkan pandangan Aisyah yang menganggap puasa sunnah bagi orang yang masih mempunyai tanggungan puasa Ramadhan hukumnya tidak diperbolehkan.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari li Ibni Hajar, [Beirut: Darul Ma’rifah, 1379], juz 4, hal. 191)
Pada hadits di atas juga dapat kita ambil pengertian bahwa mengqadha puasa Ramadhan tidak harus dengan sesegera mungkin, tapi bisa diperpanjang sampai bertemu Ramadhan berikutnya, baik pada saat meninggalkan tersebut karena uzur atau tidak.
Keluasan waktu mengqadha apabila masih berada di bulan selain bulan Syaban.
Namun apabila sudah masuk bulan Syaban, waktu mengqadha sudah menjadi sempit, tidak boleh ditunda-tunda lagi.
وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى جَوَازِ تَأْخِيرِ قَضَاءِ رَمَضَانَ مُطْلَقًا سَوَاءٌ كَانَ لِعُذْرٍ أَوْ لِغَيْرِ عُذْرٍ
Artinya: “Hadits tersebut menunjukkan diperbolehkannya mengakhirkan qadha Ramadhan secara mutlak baik karena uzur atau tidak.” (ibid)
Pernyataan Ibnu Hajar ini berbeda dengan beberapa ulama yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan puasa karena sembrono (tidak karena uzur), maka qadhanya harus sesegera mungkin.
Load more