Jakarta, tvOnenews.com - Peneliti Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban BRIN Syamsurijal mengatakan tokoh spiritual Bugis kuno bissu memiliki kemampuan adaptasi yang luar biasa karena bisa bertahan dari era pra-Islam hingga sekarang.
"Salah satu yang membuat bissu bisa bertahan sampai sekarang adalah karena kemampuan adaptasinya," kata Syamsurijal dalam diskusi bertajuk Trans People Naik Haji: Sejarah dan Tradisi Keberagaman Bissu dan Calabai yang dipantau di Jakarta, Selasa.
Kosmologis dalam budaya Bugis melahirkan pluralisme gender. Agama Bugis kuno mengenal lima gender, yaitu oroane (laki-laki), makkunrai (perempuan), calalai (perempuan maskulin), calabai (laki-laki feminim), dan bissu.
Bissu adalah tennia uruwane tenniato makkunrai yang artinya bukan laki-laki atau perempuan melainkan gabungan dari uruwane, makkunrai, calabai, dan calalai, atau gabungan kelima jenis kelamin Bugis.
Syamsurijal menuturkan bissu ada sebelum kedatangan agama-agama besar di Sulawesi Selatan, yakni Islam, Kristen, dan Hindu.
Dalam sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan, La Galigo, bissu turun pertama kali bersamaan dengan manusia pertama.
Dunia Bugis dibagi tiga, yakni dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah.
"Bissu turun bersama batara guru ke dunia tengah. Mengapa dia diturunkan? karena bissu yang mengerti bahasa turilangi atau bahasa Bugis dewata, sehingga ketika ingin melakukan ritual yang bisa menyambungkan antara masyarakat manusia yang ada di dunia tengah dengan dewa di kayangan hanya bissu yang bisa berbahasa turilangi tersebut," kata Syamsurijal.
Ketika masa pra-Islam, imbuhnya, tugas bissu lebih dominan ke hal-hal yang bersifat spiritualitas. Ketika gendang ditabuh, itu adalah waktu ritual. Mereka melakukan ritual hampir setiap hari.
Pada masa kerjaan pra-Islam, hidup bissu ditanggung oleh kerajaan. Bissu tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya duniawi, namun sekarang mereka menjadi perias pengantin, salon, dan lain sebagainya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
"Tugas bissu adalah melakukan ritual, sehingga kerajaan bisa diselamatkan dan juga menjaga barang pusaka. Posisi bissu dalam spiritualitas Bugis kuno sangat penting karena dia menjadi penyambung hubungan antara manusia dunia tengah dengan para dewa yang berada di kayangan," kata Syamsurijal.
Lebih lanjut dia mengungkapkan ketika Islam datang di Sulawesi Selatan, proses pengislaman terjadi pada komunitas-komunitas lokal dan prosesnya dilakukan lewat adaptasi melalui dialog dengan budaya setempat.
Selain melalui cara-cara yang humanis, proses Islamisasi juga dilakukan dengan kekerasan, seperti era DI/TII yang masuk ke Suku Bugis.
Kala itu semua bissu dipotong rambutnya atau dipaksa menjadi laki-laki karena diasumsikan bissu atau calabai bukan laki-laki sempurna. Proses ini mendorong para bissu dan calabai untuk melakukan proses adaptasi dengan perubahan yang mau tidak mau harus diterima karena itu gelombang perubahan budaya yang sangat besar yang masuk ke komunitas mereka.
"Tentu saja sulit kalau mereka mau melakukan perlawanan frontal terhadap gerakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok puritan Islam. Mereka mulai beradaptasi," papar Syamsurijal.
Dalam risetnya, Syamsurijal menuturkan bahwa masyarakat Bugis tetap membutuhkan komunitas adat meski agama sudah masuk. Masyarakat Bugis selain penganut keyakinan terhadap Islam kuat, tetapi mereka juga kokoh memegang adat istiadat mereka.
"Jadi, dua hal ini seimbang di dalam masyarakat Bugis. Tradisi berhaji menjadi cara bissu untuk beradaptasi dengan Islam atau untuk menunjukkan kepada mayoritas penduduk Bugis yang juga islam bahwa mereka juga muslim yang baik," kata Syamsurijal.
Bagi bissu dan calabai, ibadah haji memungkinkan komunitas mereka mendapat pengakuan sebagai bagian sah dari masyarakat Muslim Segeri di Sulawesi Selatan.
Setelah menyelesaikan ibadah haji, mereka dapat diundang untuk mengambil peran keagamaan utama dalam upacara Segeri seperti mappeca sure' (peringatan asyura), dan assalama (ritual berkah dan keselamatan).(ant/bwo)
Load more