Belanda, tvOnenews.com - Panorama Belanda yang kerab disebut negeri kincir angin tak seindah Indonesia bila saat Ramadhan tiba.
Bahkan lebih ironinya, setiap bulan Ramadhan tiba, ibu tiga anak bernama Dhian Sistemardika Ningdiah menjatuhkan air mata.
Bagaimana tidak menjatuhkan air mata? sudah hampir sepuluh tahun ia tak menikmati suasana sendi-sendi Ramadhan di negerinya sendiri, yakni Indonesia.
Dhian Sistemardika Ningdiah yang akrab disapa Dhian oleh teman-temannya mengatakan, hal yang paling sedih menjalankan ibadah puasa saat Ramadhan di negeri Belanda itu, adalah suasananya.
Sebab, Belanda dengan kemewahan arsitekturnya tak menawarkan hal unik dan romantisme saat Ramdhan tiba.
"Suasana bulan Ramadhan di negeri Belanda ini beda dengan Indonesia. Seperti kita ketahui, di negeri ini Islam adalah agama minoritas dan mayoritas non-Islam," ujar Dhian kepada tvOnenews.com, Minggu (24/3/2024).
"Makanya, mau tidak Ramadhan dan sedang Ramadhan, suasananya sama aja di Belanda. Sepi, tak ada perayaan apapun di sini," sambungnya menceritakan.
Apalagi, kata Dhian, perayaan Islam, seperti terawih berjamaah dan tadarus serta penjual takjil, itu tidak ada.
"Jadi, kami di sini merasakan, suasana Belanda saat Ramadhan seperti hari biasa dan tidak ada spesial," ungkap Dhian.
Bahkan paling mirisnya, kata dia, keberadaan masjid di tiap-tiap kota itu belum tentu ada.
"Jika pun ada masjid, itu jaraknya jauh dari rumah dan tidak berdekatan antara rumah ke rumah (seperti di Indonesia), yang sejengkal aja selalu ada masjid, sejengkal lagi ada musalah, di sini itu tidak adan," ceritanya.
Ia tambahkan, bila pun ada masjid untuk per kota, itu adanya hanya satu, dan jaraknya pun jauh-jauh dari tempat mereka tinggal.
Nah, faktor masjid jauh dari rumah, kata dia, yang membuat warga negara indonesia muslim di Belanda tak bisa laksanakan sholat tawarih berjamaah saat Ramadhan tiba.
"Jadi, bagi kami muslim di sini (Belanda) yang paling menyedihkan itu tak bisa terawih berjamaah setiap hari saat Ramadhan. Bahkan, buka puasa bersama di masjid itu juga tidak bisa dilaksanakan, seperti di Indonesia," ungkap Dhian.
"Maka yang kami lakukan kalau ingin buka puasa bersama, paling di rumah teman. Dan itu pun kalau ada undangan buka bersama dari teman-teman, barulah kami bisa buka puasa bersama dan laksanakan terawih berjamaah," sambungnya.
Tak hanya tidak bisa berbuka puasa bersama dan sholat terawih berjamaah saja yang membuat sedih di Belanda. Namun, suasana sahur di Belanda pun membuat kerinduan kepada Indonesia semakin menguat.
Hal ini lantaran, kata Dhian, suasana sahur di Belanda tak seperti di Indonesia.
"Tak ada orang banguni sahur, seperti budaya Indonesia, jika banguni sahur melalui toa, dan keliling kampung. Suasana itu yang dirindukan, karena itu istilahnya seperti menandakan welcoming ramadhan," ujar Dhian.
"Welcoming sahurnya, nah itu yang membuat selalu kangen suasana puasa di Indonesia," sambungnya.
Kalau di Belanda, kata dia, jangan berharap ada hal seperti itu. Sebab, seperti katanya, bulan Ramadhan di Belanda seperti hari bisa dan tak ada spesialnya, dan itu yang membuatnya sedih.
Meskipun, kata dia, di Belanda banyak teman-teman Indonesia yang muslim untuk mengundang buka puasa bersama setiap Ramadhan.
Akan tetapi, ia katakan, hal itu tentu tidak seindah menjalankan ibadah puasa di Indonesia, dan meskipun hal itu bisa mengobati kerinduan sementara.
"Dan itu pun tak bisa setiap hari dilakukan di Belanda oleh teman-teman. Karena di sini itu, jarak rumahnya dengan teman-teman juga jauh-jauh, sebab beda kota," bebernya.
Selain itu, Dhian ceritakan suasana Ramadhan 1445 Hijriah saat ini, Belandan sedang musim winter semi.
"Jadi karena musim ini, Alhamdulillah magribnya tidak lama, dan pada awal-awal puasa Ramadhan, pukul 7 sudah magrib," ujarnya.
"Nah, tapi nantinya di akhir-akhir puasa Ramadhan, itu magribnya uda jam 9 malam lagi. Kemudian, sahurnya juga lebih mepet lagi," lanjutnya menceritakan suasana Ramadhan 1445 Hijriah di Belanda.
Maka yang membedakan puasa di Belanda saat Ramadhan, kata dia yakni hal-hal tersebut.
"Di mana di sini tidak ada juga pedagang takjil, ramainya, terawihnya, jadi kalau di sini nggak mungkin. Kalau mau buka puasa di sini ya terpaksa buat sendiri," ucapnya.
Memang, kata dia, di sini ada pedagang takjil di warung orang Indonesia. Namun tidak seramai di Indonesia, dan harga takjilnya begitu fantastis.
"Bahkan yang menyedihkan kalau mau rasakan takjil dari toko indonesia, ya haru order dulu beberapa hari sebelumnya, makanya hal itu yang membuat kami mengurungkan untuk membeli dan akhirnya buat sendiri," kata Dhian.
Namun, kata dia hal ini tak menjadi masalah, sebab Ramadhan itu harus disambut dengan gembira meskipun ada rindu.
- Menu Ramadhan yang Paling Dirindukan
Selain bercerita soal suasana Ramadhan di Belanda, Dhian juga menceritakan kerinduannya terhadap menu nusantara saat bulan Ramadhan di Belanda.
"Ya kalau takjil, itu uda pasti dirindukan ya. Tapi seperti menu lontong sayur, opor ayam itu begitu dirindukan," kata dia.
"Walaupun itu juga menu lebaran, tetapi saat Ramadhan itu juga sangat dirindukan. Karena itu edentik dengan Ramadhan dan lebaran. Kayak sambal hati ayam, semur, rendang, kayak gitu selalu di rindukan saat Ramadhan, aduh aku rindu sekali," sambungnya.
Jadi, ia juga berharap, meski menjalankan ibadah puasa Ramadhan di negeri yang mayoritas non muslim, keluarganya tetap dikuatkan imannya dan bisa menjalankan ibadah Ramadhan yang penuh berkah.
"Kemudian, untuk anak rantau Indonesia di Belanda atau di negeri-ngeri mayoritas non Islam, tetap semangat dan lebih fokus beribadah kepada Allah SWT," ujarnya.
"Karena tak dimungkiri, jika di negeri orang itu, rasa galaunya itu lebih tinggi, apalagi ada perbedaan empat musim seperti di Belanda, itu pasti lebih banyak galaunya. Karena, udara dingin bisanya hanya di rumah aja, maka jangan tinggalkan momen itu untuk beribadah kepada Allah SWT," imbuhnya. (aag)
Load more