Jakarta, tvOnenews.com - Raden Ibnu Hajar Shaleh Pranolo alias Mbah Benu dan Jamaah Aolia Gunungkidul akhir-akhir ini menjadi sorotan, karena lebih dulu menggelar Shalat Idul Fitri.
Hal ini karena Jamaah Aolia Gunungkidul menggelar Shalat Idul Fitri pada Jumat (5/4/2024).
Shalat Ied ini jauh lebih cepat dari ketentuan Pemerintah yang baru akan menggelar sidang isbat pada Selasa (9/4/2024).
Menguak Rahasia Mbah Benu dan Jamaah Aolia Gunungkidul yang Dibentuk Sejak Tahun 1984 (ANTARA)
Naman Mbah Benu ternyata pernah ditulis secara khusus dalam Tesis berjudul Dekonstruksi Mitos Kanjeng Ratu Kidul dalam Pendidikan Akidah Perspektif KH Raden Ibnu Hajar Shaleh Pranolo 1942- Sekarang (2017) yang ditulis oleh Mohamad Ulyan, mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam (PAI) IAIN Purwokerto pada 2017, sebagaimana dilansir dari ANTARA.
Dalam tesis tersebut, diketahui bahwa Mbah Benu lahir di Pekalongan pada Sabtu Pon 28 Desember 1942.
Namun Mbah Benu besar di Solotiyang, Maron, Purworejo.
Dalam tesis Mohamad Ulyan itu dikatakan bahwa Mbah Benu pernah kuliah di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Namun ia tidak menyelesaikanya alias drop out (DO) di tengah perjalanan.
Adapun alasan Mbah Benu keluar dari FK UGM dikatakan karena ia tidak mau memakan uang orang yang sakit, orang yang menderita dan orang yang meninggal.
Setelah keputusan itulah, tepatnya mulai 27 Juli 1972, Mbah Benu menetap di daerah Gunungkidul untuk mengikuti calon istrinya yang saat itu bertugas sebagai bidan di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul.
Mbah Benu diketahui mengaji langsung kepada ayahnya yang bernama Kiai Soleh bin KH. Abdul Ghani bin Kiai Yunus.
Sementara ayah Mbah Benu diketahui merupakan lulusan berbagai pesantren besar di Jawa dan Madura seperti Krapyak, Termas, Lirboyo, Madura.
Bahkan disebutkan bahwa ayah Mbah Benu merupakan salah satu murid Mbah Kholil Bangkalan, Madura.
Menguak Rahasia Mbah Benu dan Jamaah Aolia Gunungkidul yang Dibentuk Sejak Tahun 1984 (ANTARA)
Diketahui, Jamaah Aolia Gunungkidul pertama kali dibentuk pada 12 Agustus 1984 di bawah arahan Raden Ibnu Hajar Shaleh Pranolo alias Mbah Benu.
Jamaah Aolia Gunungkidul tersebar namun pusat kegiatan berada di Masjid Aolia Panggang.
Masjid ini didirikan pada 12 Agustus 1984 dan selesai pembangunannya pada 12 Agustus 1986.
Adapun penamaan Jamaah Aolia tak lain diambil dari nama masjid tersebut.
Dengan pendekatan sosiologis yang diterapkan oleh Mbah Benu, Jamaah Aolia Gunungkidul berhasil berkembang dengan cepat.
Pada awalnya, Jamaah Aolia Gunungkidul hanya berkumpul untuk melaksanakan shalat lima waktu dan shalat Jumat, dikutip dari laman journal.uinjkt.ac.id.
Namun, seiring waktu mulai dipertimbangkan untuk menyelenggarakan perayaan hari-hari besar agama Islam serta kegiatan sosial bersama.
Anggota Jamaah Aolia Panggang berasal dari berbagai latar belakang. Sebagian besar berasal dari Panggang sendiri, tetapi ada juga yang berasal dari Jakarta, Purwokerto, Bandung, dan beberapa daerah lainnya. Mereka berasal dari beragam profesi, seperti petani, PNS, buruh, anggota legislatif, dan pengangguran.
Hubungan dalam Jamaah Aolia Panggang terutama terjalin antara imam dan jamaah. Untuk menghindari ketergantungan yang berlebihan pada KH Ibnu Hajar Soleh Prenolo, jemaah yang tersebar di berbagai daerah memiliki pembagian imam masing-masing untuk daerahnya.
Kepala Bidang Urusan Agama Islam (Urais) Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Jauhar Mustofa menjelaskan, Jamaah Masjid Aolia Gunungkidul pada dasarnya mengikuti amalan atau tata cara beribadah seperti umat Muslim pada umumnya.
Namun dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan 1 Syawal, Jamaah Aolia Gunungkidul memiliki keyakinan atau prinsip tersendiri.
Penentuan itu dilakukan Jamaah Aolia Gunungkidul tanpa mengikuti metode hisab atau rukyat.
"Mereka punya dalil sendiri yang itu diyakini oleh pemimpinnya, Pak Ibnu dan pengikutnya," kata Jauhar Mustofa, dilansir dari ANTARA.
Ia mengatakan, Kemenag DIY tidak dapat memaksa Jamaah Aolia Gunungkidul untuk mengikuti aturan yang selama ini telah ditentukan pemerintah.
"Meskipun tahun ini agak mencolok karena bedanya sampai lima hari. Ini sangat-sangat mencolok” ujarnya.
“Kalau biasanya kan hanya (selisih) satu dua hari, tapi tahun ini memang agak mencolok sehingga memang menjadi perhatian," sambung Jauhar.
Sebagai informasi, pada tahun lalu, Jamaah Aolia Gunungkidul memutuskan Shalat Idul Fitri pada 20 April 2023. Sementara pemerintah menetapkan pada 21-22 April 2023.
Namun meski begitu, Jauhar menegaskan, Kemenag DIY akan terus menjalin komunikasi dan hubungan baik dengan para pemimpin jemaah tersebut melalui Kantor Urusan Agama (KUA) serta Kemenag di tingkat kabupaten.
Diketahui, jumlah jamaah masjid Aolia Gunungkidul saat ini sekitar 1.500-an yang berasal dari berbagai kalangan.
Dari 1.500-an jamaah, sebagian besar berasal dari daerah Panggang itu sendiri.
Namun ada juga yang berasal dari Jakarta, Purwokerto, Bandung, dan beberapa daerah lainnya.
Adapun profesi dari Jamaah Aolia Gunungkidul antara lain petani, PNS, buruh, anggota legislatif, maupun pengangguran, dengan berbagai latar belakang pendidikan.
Menguak Rahasia Mbah Benu dan Jamaah Aolia Gunungkidul yang Dibentuk Sejak Tahun 1984 (Sumber: ANTARA)
Beredar video Mbah Benu memberikan penjelasan mengenai cara Jamaah Aolia Gunungkidul dalam menentukan waktu tibanya Idul Fitri.
Dalam video tersebut, Mbah Benu mengatakan Jamaah Aolia tidak melakukan perhitungan, melainkan menelepon Allah SWT untuk mengetahui penentuan harinya.
"Nggak pakai perhitungan, saya telepon langsung kepada Allah Taala," kata Mbah Benu dalam video viral itu.
Tak perlu waktu lama, pernyataan Mbah Benu menuai kontroversi dari berbagai pihak.
Hal itupun langsung ditanggapi oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis.
Kiai Cholil mengatakan, penentuan Hari Raya Idul Fitri oleh Mbah Benu itu tidak sesuai ilmu syariat Islam.
"Tak benar menerapkan syariah, serampangan, tanpa ilmu. Masa teleponan dengan Allah untuk menentukan lebaran, itu pasti tak benar. Saya duga dia sedang dialog dengan jin," kata Kiai Cholil.
Menurut Kiai Cholil, Mbah Benu dan para pengikutnya perlu diberi tahu tentang syariat Islam yang benar.
"Ini puasa duluan dan lebaran duluan. Jauh dari tata cara penentuan awal Ramadhan dan lebaran yang diajarkan Nabi SAW. Apalagi main telepon kepada Allah, ini tak bisa diterima agama," tandas Kiai Cholil.
Kiai Cholil kemudian menambahkan, dari aspek ajaran Agama Islam golongan mana pun tata cara yang dilakukan Mbah Benu soal penentuan lebaran itu tidak benar.
"Gimana bisa teleponan sama Allah, masa ada pulsanya, itu sudah enggak benar. Menentukan dengan cara dia tanpa ilmu syariat itu juga tidak benar. Oleh karena itu, dari aspek agama ajaran dari sebelah mana pun dalam Islam Mbah Benu yang di Jogja itu tidak benar," ujar Kiai Cholil.
Usai membuat keributan, Mbah Benu akhirnya memberikan klarifikasi mengenai ucapannya tentang telepon Allah tersebut.
Di dalam video klarifikasi yang disebar akun media sosial X merapi_uncover itu, pemimpin Jamaah Aolia tersebut mengatakan bahwa telepon Allah itu hanyalah istilah.
"Terkait pernyataan saya tadi pagi tentang istilah menelpon Gusti Allah SWT itu sebenarnya hanya istilah," kata Mbah Benu, dikutip Senin (8/4/2024).
Ia pun melanjutkan, bahwa maksud dia yang sebenarnya adalah, dirinya telah melalui perjalanan spiritual dan melakukan kontak batin dengan Sang Pencipta.
"Yang sebenarnya adalah perjalanan spiritual saya kontak batin dengan Allah SWT," kata dia melanjutkan.
Di akhir videonya, ia pun meminta maaf kepada masyarakat yang tersinggung dengan pernyataan dirinya.
"Apabila pernyataan saya yang menyinggung atau tidak berkenan, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pihak. Terimakasih," pungkasnya.(put)
Load more