Jakarta, tvOnenews.com- Kanker salah satu penyakit yang mematikan di Indonesia. Beragam cerita mitos ataupun fakta yang hidup di tengah masyarakat, seperti puasa katanya bisa sembuhkan kanker?.
Hal ini diluruskan oleh Dr. Lee Yuh Shan, Konsultan Senior Hematologi di Parkway Cancer Centre, Singapura, mengatakan, puasa untuk mengobati kanker adalah mitos. Ia sebut puasa, di sini untuk menjaga atau mengontrol asupan tertentu.
Asupan yang dikontrol tersebut harus dikonsultasikan dengan dokter. Sehingga tidak sembarang asal puasa, dinilai bisa menurunkan kesehatan pasien.
"Puasa tidak membantu penyembuhan ya, baik dia penderita kanker mau makan atau tidak. Si sel kanker akan terus tumbuh, kalau puasa (tanpa konsultasi) malahan bisa sel kanker," kata Dr Lee dalam Webinar Kesehatan, Kamis (30/5/2024)
"Maka bisa memakan nutrisi dari tubuh pasien. Sehingga banyak kasus mengalami penurunan massa otot dan penurunan imun tubuh," sambungnya
Sehubungan dengan ini, perlu diketahui kalau pasien dari penderita kanker dan segala penyakit sejujurnya juga membutuhkan cinta. Hal ini disampaikan oleh dr Zaidul Akbar, kalau rasa cinta bisa meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
Kebalikannya, jika seseorang mengalami stres bahkan dalam waktu lama akan memicu berbagai kesehatan lainnya.
"Coba mengambil benang merah penyakitnya itu dari lifestyle. Kata kunci stres, kebencian ketidaksukaan tidak nyaman menekan jiwa, kalau sudah stres apa yang terjadi pasti adrenalin keluar. Bisa tensi naik, lalu pembuluh darah menyempit, muncul sesak, perut melilit dan semua (macam keluhan sakit lainnya)," kata dr Zaidul dalam YouTube dr Zaidul Akbar Official, Sabtu (8/6/2024)
"Sampai ke perubahan sel yang awalnya satu, bisa jadi berubah bentuk membelah disebut sebagai kanker sampai ke sana. Efek dari stres. Dengan cinta kanker bisa mati atau disembuhkan," terangnya
Sementara untuk pengobatan secara medis, pasien kanker, secara umum diketahui berupa kemoterapi. Namun, kini muncul inovasi pengobatan baru, seperti agen bertarget untuk kanker darah.
Menurut Dr Lee pengobatan bertarget ini pertama kali muncul sekitar 20 tahun lalu, dan saat ini perkembangannya pesat. Efek samping pengobatannya pun bisa lebih ditoleransi dibandingkan dengan kemoterapi konvensional.
Pengobatan bertarget akan lebih sedikit menyebabkan kerusakan sel normal serta memiliki tingkat kemanjuran pengobatan yang lebih tinggi.
“Contohnya pada kasus lekuemia myeloid akut atau AML, kombinasi agen bertarget inhibitor FL3 dengan kemoterapi memiliki angka kelangsungan hidup 75%, dibandingkan dengan kelangsungan hidup pasien yang diberi kemoterapi konvensional saja yaitu 25%,” jelasnya (klw)
Load more