Jakarta, tvOnenews.com- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai perbedaan pendapat dalam hukum fikih menyangkut salam lintas agama merupakan hal yang wajar.
"Perbedaan antara MUI dan Kementerian Agama sebaiknya dianggap biasa saja, karena MUI dan Kementerian Agama itu hidup dalam satu ruang yaitu pemerintah," kata Rais Syuriyah PBNU Abdul Ghofur Maimoen dalam keterangan di Jakarta, Rabu.
Gus Ghofur, sapaan akrabnya mengatakan persoalan ayat-ayat Al Quran yang maknanya belum jelas dalam fikih harus dimaknai oleh semua pihak dengan menahan diri, agar tidak saling mengkafirkan dalam menyikapi perbedaan.
Ia menilai persoalan mengenai fikih adalah persoalan yang rumit sehingga kerap menimbulkan perbedaan pendapat.
"Kalimat Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh itu adalah doa, doa yang dalam keputusan MUI itu dianggap ibadah, doa itu ibadah, tapi fikihnya sendiri itu ada persoalan yang rumit," jelasnya.
Menurut Gus Ghofur, masyarakat Islam di Indonesia bisa mengambil contoh seperti perbedaan fatwa ulama Arab Saudi dan Al-Azhar Mesir, di mana pada beberapa kasus Al-Azhar lebih longgar dalam memberikan fatwa dibandingkan pemerintah Arab Saudi.
Senada dengan Abdul Ghofur, Ketua PBNU Ulil Abshar Abdalla menegaskan salam lintas agama yang diucapkan saat seseorang berpidato adalah wujud dari upaya memupuk persaudaraan kebangsaan.
"Salah satu cara untuk memupuk persaudaraan kebangsaan dunia kebijakan yang ditempuh oleh negara adalah mengadakan salam lintas agama," katanya.
Gus Ulil, sapaan akrabnya, juga menekankan pertimbangan mengenai bentuk negara, di mana jika seseorang sudah menerima bentuk negara, maka harus juga menerima konsekuensinya dalam hidup bernegara.
Menurutnya, sebagian besar para ulama IsIam dan para tokoh di dunia IsIam juga menerima berbagai konsekuensi dari diterimanya bentuk negara bangsa (nation state).
"Konsekuensinya antara lain yang paling penting adalah menyangkut kedudukan hukum fikih bukan syariat, bukan kedudukan hukum fikih di dalam negara bangsa," tuturnya.(ant/bwo)
Load more