Namun pembiayaan jemaah itu disamakan dengan jemaah yang sudah menunggu dalam waktu yang lebih lama, bisa 12 sampai 13 tahun.
“Hal semacam ini perlu direspons dalam perbaikan regulasi. Saat ini kemenag terus melakukan harmonisasi regulasi,” ujar Cak Nanto.
Kemudian rekomendasi kedua dari Pansus Angket Haji DPR adalah diperlukan sistem yang lebih terbuka dan akuntabel dalam penetapan kuota haji, terutama dalam ibadah haji khusus, termasuk pengalokasian kuota tambahan.
Setiap keputusan yang diambil dikatakan DPR harus didasarkan pada peraturan yang jelas dan diinformasikan secara terbuka kepada publik.
Mengenai hal ini, Cak Nanto mengatakan bahwa sistem penetapan kuota selama ini bersifat terbuka dan mengacu pada Undang-Undang No 8 tahun 2019, khususnya Pasal 8 dan Pasal 9.
“Penetapan kuota haji memang wewenang atribusi yang diberikan undang-undang kepada Menteri Agama (Menag),” ujarnya.
“Pasal 64 juga jelas bahwa alokasi kuota haji khusus sebesar 8 persen itu dari Kuota Haji Indonesia yang itu adalah kuota pokok, bukan kuota tambahan,” lanjutnya.
Cak Nanto kemudian mengatakan, dalam sejarah penyelenggaraan ibadah haji, Indonesia setidaknya tiga kali menerima kuota tambahan.
Adapun praktik pembagiannya pada tiap tahun tidak pernah sama.
Misalnya tahun 2019, Indonesia mendapat 10.000 kuota tambahan dan itu seluruhnya diberikan untuk jemaah haji reguler.
“Pada tahun 2022, Indonesia mendapat kuota 100.051, dibagi 92.825 untuk haji reguler dan 7.226 untuk haji khusus,” katanya.
“Prosentase kuota haji khusus hanya 7,2 persen tidak sampai 8 persen Kemenag waktu itu akan digugat PIHK. Tapi memang keputusan dari Arab Saudinya pembagiannya sudah seperti itu,” lanjut Cak Nanto.
Kemudian pada 2023, Indonesia mendapat 8.000 kuota tambahan dimana sebanyak 92 persen untuk jemaah haji reguler dan 8 persen untuk jemaah haji khusus.
Load more