Saat itu, Sugimoto masih berusia 19 tahun. Kebetulan, ia mengenyam pendidikan sarjananya. Sampai akhirnya, harus bertemu seorang mahasiswa Muslim yang memilih belajar di Jepang.
"Namun ketika saya kuliah usia 19 tahun ketika itu, saya bertemu dengan seorang mahasiswa Muslim dari Bangladesh. Bagi saya itu pertama kalinya (melihat orang Muslim) di Jepang. Lalu kami bersahabat," kata Sensei Sugimoto.
Suatu waktu, sang pendakwah akhirnya terbang menuju Bangladesh. Kedatangannya dalam rangka memenuhi undangan dari mahasiswa itu selama satu minggu.
"Saya sangat tertarik dengan budaya, saya pun datang berkunjung. Pada tahun 1996, saya merasakan culture shock yang luar biasa. Saat tiba, begitu banyak orang miskin di sana," terangnya.
Namun, culture shock tidak menjadi penghalangnya di Bangladesh. Ada beberapa kekuatan yang membuat Sugimoto semakin terpukau. Salah satunya, penyambutan masyarakat kepada dirinya.
"Mereka sangat ramah. Keramahtamahan, nilai kekeluargaan mereka sangat kuat. Ikatan kekeluargaan mereka sangat kuat. Hal itu sudah nyaris hilang di Jepang. Terutama sejak tingkat populasi di Jepang menurun karena generasi muda tidak mau menikah. Tidak ingin punya anak, kan?," jelasnya.
Setibanya di Jepang, Sensei yang sebelumnya mengunjungi Bangladesh tiba-tiba muncul dalam keinginannya untuk mempelajari agama Islam. Ramah tamah negara sahabatnya itu menjadi pemantik baginya ingin mencari Al Quran.
Load more