tvOnenews.com - Pendakwah karismatik Buya Yahya menguraikan hukum merayakan Tahun Baru Masehi dan Hari Raya Natal.
Namun, Buya Yahya mengingatkan ada beberapa hal termasuk hukum ikut merayakan sekaligus mengucap selamat Natal dan Tahun Baru Masehi.
Buya Yahya menerangkan ada kebiasaan yang terkandung di dalamnya saat ada umat Islam berantusias memeriahkan Natal dan Tahun Baru Masehi.
"Tahun Baru Masehi, bukan yang dipermasalahkan dzatnya bulan dan hari, akan tetapi kebiasaan dan kebudayaan yang terjadi di tahun baru tersebut," ungkap Buya Yahya dalam suatu ceramah disadur dari kanal YouTube Al-Bahjah TV, Rabu (18/12/2024).
Tahun Baru Masehi menandakan kondisi di mana terjadi adanya pergantian tahun berdasarkan hitungan dengan kalender Masehi.
Pergantian tahun ini menunjukkan sistem tanggal yang dibentuk secara universal sebagaimana menjadi acuan untuk dunia.
Biasanya Tahun Baru Masehi jatuh setiap tanggal 1 Januari yang di aman seluruh manusia berbondong-bondong untuk merayakan kemeriahannya.
Perayaan Tahun Baru Masehi ini bermula dari bentuk penanggalan yang berangkat sejarah Romawi Kuno menggunakan sistem tersebut.
Selepas itu Gereja mengadopsi penanggalan ini sekaligus tanda mula perayaan tahun baru pada abad ke-6 Masehi.
Tahun Baru Masehi juga bentuk merayakan sekaligus memperingati hari kelahiran Yesus Kristus. Biasanya umat Kristiani akan melakukan upacara berbasis keagamaan dan bentuk lainnya.
Jarak waktu merayakan Tahun Baru Masehi dan hari kelahiran Yesus Kristus sangat dekat. Ini memunculkan adanya perayaan Hari Raya Natal bagi umat Kristiani.
Natal juga menunjukkan tanda penghormatan saat Yesus Kristus lahir di dunia. Rangkaian kegiatan ini menunjukkan adanya pengorbanan.
Saat ini, perayaan tahun baru telah menjadi tradisi dalam menandakan kebahagiaan dan kemeriahan dilakukan oleh seluruh umat manusia di dunia.
Namun, hukum merayakan Tahun Baru Masehi dalam agama Islam memunculkan berbagai spekulasi dan pendapat terkait kebolehannya.
Ada yang menyebutkan bahwa perayaan Tahun Baru Masehi sangat dilarang. Sebagian orang lainnya menegaskan tidak ada masalah meski harus ada catatan yang harus diperhatikan bersama.
Dilansir dari laman resmi Nahdlatul Ulama (NU), para ulama melarang perayaan ini karena dianggap mengandung ritual dilakukan oleh bangsa Roma.
Dalam hadits riwayat menerangkan terkait keterlibatan diri terhadap umat lain, Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka." (HR. Abu Dawud)
Sebagai pendakwah karismatik, Buya Yahya mengupas tuntas terkait perayaan tahun baru sebaiknya tidak boleh dilakukan secara berlebihan.
Tak hanya itu, Buya Yahya menekankan tidak ada perayaannya karena dianggap bisa mengandung maksiat.
"Apa yang dilakukan oleh umat saat itu? Berhura-hura, berfoya-foya, dan yang banyak merayakan ini orang di luar Islam sana karena bangga dengan tahun baru mereka, kemaksiatan di dalamnya," jelas dia.
Pengasuh LPD Al Bahjah ini juga mengharapkan setiap orang mukmin khususnya di Indonesia tidak perlu memakai sistem penanggalan Masehi.
Ia menyebutkan orang mukmin berpatokan pada penanggalan Masehi diibaratkan mengikuti penanggalan yang dibuat oleh Paus Gregorius.
"Jadi mengikuti budaya-budaya kafir itulah yang tidak diperkenankan. Kalau masalah hari, kita pakai hari, tanggal kita pakai tanggal mereka," terangnya.
Pendakwah usia 51 tahun ini mempertanyakan alasan orang mukmin sangat berantusias terhadap fenomena dua hari raya tersebut.
Ia menganggap orang mukmin yang memeriahkannya seperti tanda terjadi adanya kelemahan pada keimanan mereka.
Buya Yahya membandingkan sikap dan perilaku umat Muslim antara perayaan Tahun Baru Masehi dan Tahun Baru Islam atau Hijriyah.
"Begitulah umat Islam yang lemah pendirian, kerjanya ngikut-ngikut saja. Dan memang umat Islam ini banyak yang lemah pendirian. Kita itu heboh dengan merayakan tahun baru masehi," tegasnya.
"Giliran tahun baru Hijriyah, tidur. Muncul kemunafikan di sini," tandasnya.
(han/hap)
Load more