Jakarta, tvOnenews.com-- Daging babi salah satu yang dilarang dalam Agama Islam. Namun, Ustaz Adi Hidayat menjelaskan lebih lanjut kalau haram bisa jadi halal dalam kondisi tertentu.
Ustaz Adi Hidayat (UAH) menjelaskan kondisi seseorang yang terjebak darurat. Contohnya, di Hutan tidak ada pilihan dan hanya ada babi bisa dimakan.
Sebab jika tidak makan bisa menyebabkan kematian. Hal ini disampaikan dalam ceramahnya di YouTube @tvcahayaislammuslim, dikutip Minggu (22/12).
"Dalam situasi seperti itu, makan daging babi menjadi diperbolehkan. Tapi, ini hanya berlaku untuk menjaga nyawa, bukan untuk dinikmati atau sekadar menghilangkan rasa lapar,” ujar UAH dalam video tersebut.
Sebagaimana pelarangan memakan daging babi sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an yang menyebutkan secara tegas tentang haram mengonsumsi babi, di antaranya:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. Al-Baqarah [2]: 173). (Dikutip dari Antara).
“Ambil secukupnya, potong bagian yang dibutuhkan, lalu segera berhenti begitu menemukan makanan halal lainnya,” jelasnya.
Sehubungan dengan ini, dilansir dari NU Online soal daging babi.
“Adapun babi adalah binatang najis karena kondisinya lebih buruk dari anjing, di samping itu dianjurkan untuk dibunuh bukan karena ia membahayakan, dan telah disebutkan oleh nash keharamannya. Jika anjing saja najis maka babi lebih najis. Sedangkan sesuatu yang lahir dari babi dan anjing atau salah satu dari keduanya adalah najis karena merupakan makhluk yang berasal dari yang najis, karenanya status hukumnya adalah sama,” (Lihat Abu Ishaq Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqhil Imam Asy-Syafi’i, Beirut, Darul Fikr, juz I, halaman 47).(klw)
waallahualam
Load more