Jakarta, tvOnenews.com -Surat-surat Sjahrir yang ditulis pada periode 1932–1940, di dalamnya banyak ditemukan buah pemikiran yang mencerminkan cinta, perjuangan, dan keadilan sosial, di tengah kolonialisme yang mencekik. Dalam surat tersebut terlihat dimensi pribadi dan perjuangan lintas budaya seorang nasionalis Indonesia: Sutan Sjahrir. Dalam penetlitian Kees Snoek, profesor di Sorbonne Université Prancis, dalam risetnya berjudul Letters of Indonesian nationalist Sjahrir to his beloved Maria Duchâteau; A transcultural case of travel writing banyak menyoroti isi surat-surat cinta Sutan Sjahrir kepada perempuan Belanda bernama Maria Johanna Duchâteau.
Seperti diketahui Sjahrir adalah seorang pemikir progresif yang percaya pada pentingnya gagasan Barat untuk membangun kesadaran rakyat di Tanah Airnya dalam melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
Dilahirkan dari keluarga elite Minangkabau dan memiliki kesempatan untuk belajar di Belanda, Sjahrir memiliki semangat intelektual menyala-nyala.
Di Belanda lah Sjahrir bertemu dengan Maria Duchâteau pada awal 1930-an, seorang perempuan Eropa yang tengah mengalami keretakan dalam pernikahannya dengan Salomon Tas. Maria juga tokoh sosialis Belanda, menemukan ketenangan dalam pemikiran Sjahrir yang revolusioner namun lembut.
Dari percakapan tentang sastra, kemanusiaan, dan ideologi, perlahan berubah menjadi cinta yang seperti api merembet dan sulit untuk dipadamkan. Lalu April 1932, Sjahrir membawa Maria ke Tanah Air dan menikahinya secara Islam di Medan. Dan diketahui Maria telah berpindah agama.
Dalam catatan Rosihan Anwar di buku Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, disebutkan bahwa pernikahan ini menjadi kontroversi, bukan hanya karena status Maria yang masih resmi menjadi istri Salomon Tas, melainkan juga karena keberanian Sjahrir menikahi perempuan Eropa dalam konteks penjajahan.
Pernikahan ini dilaksanakan dalam suasana sederhana, dengan Maria mengenakan kebaya, simbol asimilasi dirinya ke dalam budaya Indonesia.
Namun, perjalanan cinta mereka tidak berlangsung mulus. Pernikahan pria pribumi dengan perempuan asing berkulit putih kurang bisa diterima adat lama.
Surat kabar dengan kencang memberitakan hal itu dan tekanan yang diterima Sjahrir dan Maria semakin keras dari sisi sosial maupun politik, atas peran Sjahrir sebagai tokoh pergerakan.
Surat kabar De Sumatra Post mengangkat berita utama soal pasangan eksentrik ini dengan judul Wanita memakai sarung dan kebaya, di bawah pengawasan polisi pada 13 Mei 1932.
Load more