Berbagai investigasi dilakukan oleh pihak-pihak yang tak menginginkan mereka bersatu sampai ke akar kehidupan pribadi keduanya. Hingga kemudian terungkap bahwa Maria belum mendapatkan perceraian resmi dari suami sebelumnya, yakni Salomon Tas di Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda pun menganggap hubungan mereka tidak sah. Tekanan politik dan sosial memuncak hingga akhirnya pernikahan mereka dibatalkan secara hukum pada Mei 1932, hanya sebulan setelah pernikahan dilangsungkan.
Kehilangan ini membawa duka mendalam bagi keduanya. Maria, yang saat itu tengah mengandung, kembali ke Belanda atau lebih tepatnya dideportasi ke negeri asalnya dengan hati hancur.
Anak yang ia lahirkan dari Sjahrir meninggal hanya beberapa pekan setelah dilahirkan. Sjahrir sendiri melanjutkan perjuangan politiknya di Tanah Air, tetapi hatinya tetap merindukan Maria.
Dalam surat-suratnya kepada Maria, yang kini tersimpan di arsip-arsip seperti KITLV dan dibahas dalam beberapa buku biografi, Sjahrir mencurahkan perasaannya yang paling dalam.
Salah satu suratnya berbunyi:
“Apa yang aku tak temukan dalam studiku, apa yang tak aku temukan dalam filsafat, aku temukan pada dirimu, pada surat-suratmu. Di sini aku merasa lebih banyak kesepian dan sendiri, melebihi kesendirian di dalam sel penjara itu sendiri. Di dalam pikiranku, aku selalu membutuhkanmu untuk menguji pikiran dan tindakanku, untuk berunding, untuk berbagi perasaan.”
Pada 1947, setelah 15 tahun berpisah, Sjahrir dan Maria bertemu kembali di New Delhi. Pertemuan itu berlangsung dingin, seperti yang dicatat dalam biografi dan wawancara Rosihan Anwar.
Ternyata waktu telah mengubah segalanya, pandangan dan pemikiran keduanya pun beranjak berbeda, ada yang pernah bilang Maria telah menganut komunis, sementara Sjahrir seorang sosialis demokrat yang percaya pada kemajuan.
Sjahrir pun seiring waktu mampu mengalihkan cintanya pada perempuan lain dan melabuhkan hati pada Siti Wahyunah Saleh, yang akrab dipanggil Poppy.
Load more