Selama masa kebebasannya sebelum ditangkap pada 1934, Sjahrir sering bepergian ke berbagai wilayah Jawa untuk mengorganisasi partainya, Pendidikan Nasional Indonesia (PNI).
Ia mengamati kehidupan perdesaan dengan sudut pandang antropologis, mencatat ketimpangan sosial, etnisitas, dan gender.
Ia mengkritik bangsawan Jawa yang hidup nyaman dalam kolaborasi dengan pemerintah kolonial, menyebut mereka "terdegradasi" dibandingkan rakyat desa yang ia anggap memiliki potensi revolusioner.
Sjahrir juga menunjukkan kebenciannya pada ketidakadilan kolonial yang mewabah, seperti di penjara Cilacap, tempat ia mencatat perlakuan buruk dan makanan yang tidak layak bagi tahanan.
Ia menyebut kolonialisme sebagai sistem yang merampas kemanusiaan, baik secara fisik maupun spiritual.
Setelah ditangkap, Sjahrir diasingkan ke Boven-Digoel dan kemudian Banda Naira. Meski terisolasi, ia terus menulis kepada Maria, mencatat pengamatan tentang budaya lokal dan mendalami pemahaman lintas budaya.
Kompleksitas politik yang memanas termasuk meletusnya perang dunia perlahan memaksa Sjahrir untuk berhenti mengirimkan surat cinta kepada Maria.
Ketika Perang Dunia II meletus, Belanda diduduki pasukan Nazi Jerman sehingga seluruh korespondensi terputus. Mulai dari 1931--1940, Maria menerima 287 surat dengan panjang antara 4--7 halaman dari Sjahrir.
Maria sempat berpikir untuk membakarnya, namun mengurungkan niatnya. Ia dengan dibantu suaminya yang juga adik Sjahrir, Sutan Sjahsyam, justru memutuskan membukukan fragmen-fragmen surat itu dengan judul Indonesische Overpeinzingen, diterbitkan di Amsterdam pada 1945 di bawah nama samaran Sjahrazad.
Jika ditilik kembali surat cinta Sjahrir kepada Maria, banyak yang mencerminkan komitmen pada nilai-nilai humanisme, di mana ia memandang semua manusia setara, terlepas dari asal-usul mereka.
Load more