Di dalam Islam, kerusakan lingkungan yang terjadi adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri. Banyaknya bencana alam yang terjadi seperti banjir, badai, dan longsor, serta kerusakan ekologis seperti polusi udara, pencemaran sungai, kenaikan permukaan air laut, dan pemanasan global yang menghantui keberlangsungan umat manusia adalah sebab dari perilaku manusia.
Allah SWT berfirman: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum: 41).
Ayat tersebut mengindikasikan bahwa manusialah yang paling bertanggungjawab atas kerusakan ekologi yang terjadi di bumi, karena tangan manusia sendiri yang paling berkontribusi atas kerusakan alam.
Lebih jauh, manusia adalah khalifah atau wakil tertinggi (supreme representative). Sebagai khalifah, manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga bumi agar kebahagiaan hidup dan lingkungannya tetap terjaga dan bermanfaat bagi generasi penerus selanjutnya. Sehingga, setiap orang memiliki peran untuk menjaga lingkungannya.
Senada dengan itu, Ammar (2001) juga menyatakan bahwa khalifah adalah manajer, bukan pemilik—penjaga untuk semua generasi sebagaimana firman Allah yang berbunyi: “(Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 22).
Dalam ayat tersebut Allah mengakhiri dengan jamak “kamu.” Makna “kamu” dalam ayat tersebut membawa pesan bahwa alam semesta bukanlah hanya untuk satu generasi saja, tetapi juga untuk setiap generasi baik itu generasi masa lalu, sekarang, dan masa depan.
Allah memberikan kepada manusia tanggung jawab untuk mengelola bumi karena manusia memiliki sifat-sifat khusus, bukan karena memiliki sifat yang lebih baik. Kualitas-kualitas khusus tersebut yaitu, kemampuan manusia untuk berbicara dan mengetahui nama-nama ciptaan.
Allah berfirman: “Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!” (QS. Al-Baqarah: 31).
Kualitas khusus manusia lainnya adalah kemampuan mandiri manusia untuk mengetahui yang baik dari yang jahat, dan kemampuan manusia untuk mencegah kejahatan. Allah nyatakan dalam al-Qur’an: “Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya” (QS. Asy-Syams:7–8).
Selain itu, Allah menemukan bahwa hanya manusia yang setuju untuk mengambil tanggung jawab untuk menjadi manajer di bumi. Dia berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia” (QS. Surah Al-Ahzab: 72). Karena alasan tersebut, alam semesta kemudian diberikan kepada manusia sebagai "ammanah" (trust) yang harus manusia jaga.
Namun demikian, meskipun manusia mendapat tanggung jawab untuk menjadi manajer alam semesta, Allah memberikan alam yang diberkati kepada manusia untuk melakukan perbuatan baik sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an: “Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya” (Q.S. Hud: 7). Bagaimanapun, pada hakikatnya, Allah adalah pencipta dan pemilik seluruh alam semesta (al-Mulk Lillah). Dia yang menciptakan manusia dan alam semesta yang diberkati.
Dalam konsep tauhid, dualitas antara Pencipta (creator) dan ciptaan (created) atau Khalik dan makhluk menjadikan manusia dan makhluk lain seperti alam, hewan, tumbuhan, dan seluruh alam semesta berada dalam satu kesatuan kelas bernama ciptaan Allah.
Berkenaan dengan ini, meskipun semua makhluk ciptaan Allah beragam tapi tetap mempunyai kesamaan karakteristik tertentu.
Pertama, semua ciptaan adalah cerminan dari kesucian, kemuliaan, dan kuasa Allah sebagaimana firman Allah: “Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 115).
Kedua, ciptaan-ciptaan Allah adalah teratur, memiliki tujuan, dan fungsi sebagaimana firman Allah: “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan Kami pancangkan padanya gunung-gunung serta Kami tumbuhkan di sana segala sesuatu menurut ukuran” (QS. Al-Hijr: 19).
Ketiga, semua ciptaan Allah diaktualisasikan untuk menyembah dan menaati-Nya sebagaimana firman Allah: “Tidakkah engkau tahu bahwa siapa yang ada di langit dan siapa yang ada di bumi bersujud kepada Allah, juga matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, hewan-hewan yang melata dan banyak di antara manusia?” (QS. Al-Hajj: 18).
Keempat, semua makhluk diciptakan oleh Allah dari elemen yang sama yaitu, air, sebagaimana firman Allah: “Dan Allah menciptakan semua jenis hewan dari air” (QS. An-Nur: 45).
Kelima, semua kesatuan ciptaan Allah dapat dikategorikan sebagai sebuah struktur sosial sebagaimana firman Allah: “Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu” (QS. Al-An'am: 38).
Oleh karena itu, manusia dan alam semesta mencerminkan kekerabatan sebagai sama-sama ciptaan Allah. Konsekuensinya, manusia harus mempunyai rasa menghormati terhadap alam. Rasa menghormati tersebut dapat diaktualisasikan dalam bentuk kontribusi untuk menjaga alam semesta. Jadi, kewajiban manusia untuk menjaga alam semesta harus dipahami sebagai tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi dan rasa saling menghormati sesama makhluk ciptaan Allah.
(Penulis: Asep Sandi Ruswanda, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
Load more