Dalam perspektif agama Islam, teras keempat akan sebagai sarana mengaplikasikan, mempraktikkan, dan sarana menumpahkan segala sesuatu telah didapat dari perjalanan sebelumnya.
Area ini berhubungan dengan upaya seseorang berusaha memenuhi kesempurnaan keimanannya atas usaha mencari-cari keberadaan ilmu guna bekal mereka hanya berpasrah diri.
Teras kelima akan menyajikan sebuah tempat terdiri dari beberapa kolom batu tersusun, seperti tempat tidur, doa, dan singgasana. Nanang menyebutnya "Tempat Singgasana" atau "Putri Bungsu" dalam cerita terbaru terhubung dengan Eyang Prabu Siliwangi dan leluhur berdoa. Posisi cluster batu Singgasana terbentang di antara timur-barat di area selatan.
Kemudian, ada tiga cluster batu lainnya di sebelah selatan dari timur-barat dinamai "Eyang Perbuka", "Batu Pandaringan", dan "Eyang Paraji Sakti".
Nanang menegaskan halaman ini akan menimbulkan kesejukan, kenyamanan, dan kedamaian yang didapatkan di sini. Bahwasanya manusia hanya berpasrah diri atas usaha sebelumnya.
"Kalau yang kelilma itu pengamalan, mengaplikasikan. Ibaratnya puasa, nah itu nahan hawa nafsu dari amarah," katanya.
Manusia akan memperoleh kesempurnaan selayaknya pencapaian jerih payah dalam perjalanan untuk mencapai tujuan hidupnya. Ini menandakan seperti perjuangan yang tidak sia-sia selama di kehidupan.
"Kelima itu tempat tertinggi, istilahnya empat sehat lima sempurna. Artinya kesempurnaan, jadi tempat berserah diri apa yang kita lakukan, artinya kita menikmati hasil karya," bebernya.
"Kalau kita mengerjakan kebaikan-kebaikan itu enggak ke mana, jaminannya surga," sambungnya menutupkan.
Dalam cerita dari Batu Singgasana ini menandakan tempat berdoa. Terlihat di bagian batu agak berdiri terdapat bekas kepala yang bersujud berbentuk bulat diyakini leluhur berserah diri kepada-Nya.
"Konsepnya setelah sujud, kita hormat kepada ayah dan ibu, itu konsep doa balik badan menghadap ke Gede-Pangrango," tandasnya.
(hap)
Load more