Cianjur, tvOnenews.com - Situs Gunung Padang mempunyai lima teras yang mengundang filosofi berkaitan dengan agama. Masing-masing teras memiliki makna yang tersembunyi di dalamnya.
Lima teras di Situs Gunung Padang juga memiliki batu-batu kuno peninggalan zaman Megalitik Tertua yang filosofinya menyambung pada pengamalan dalam agama.
Kelima teras ini ibarat membentuk seperti Punden Berundak sebagai bentuk dari Situs Gunung Padang.
Kuncen Situs Gunung Padang sekaligus berstatus Polisi Khusus Cagar Budaya Kabupaten Cianjur, Bogor, dan Sukabumi, Nanang menceritakan filosofi lima teras ini dicontohkan seperti pengamalan kelima rukun Islam. Bahkan masing-masing fungsinya berbeda, meskipun saling terhubung satu sama lain.
Lantas, seperti apa filosofi lima teras di Situs Gunung Padang?
Teras pertama sebagai halaman pertama yang terbentang luas untuk menyambut kedatangan tamu. Nanang mengatakan bahwa teras kesatu memiliki halaman yang berukuran sangat luas.
Teras pertama memiliki ukuran pada bagian sisi utara seluas 35,40 meter, sisi timur 32 meter, sisi selatan 37 meter, dan sisi barat 28, 50 meter.
Dalam ukuran ini menunjukkan manusia harus mengkaji banyak ilmu dari berbagai bentangan dan sajian batu-batu peninggalan Megalitik Kuno. Ada banyak ilmu yang didapatkan untuk menyerap beberapa hal.
Nanang menyebutkan ilmu ini sebagai pondasi bagi seorang manusia guna menguatkan pembekalan untuk menerapkan konsep kehidupan.
"Jadi menggambarkan ilmu yang harus kuat itu dasar dan benar-benar kokoh. Jika mengacu pada Islam itu bisa memahami rukun Islam ada lima kalau konsep ini saya pakai," ungkap Nanang kepada tim tvOnenews.com di lokasi, Situs Gunung Padang, Kabupaten Cianjur, Sabtu (11/1/2025).
Ilmu pada dasarnya akan memberikan tuntunan hidup agar menuju arah yang benar. Dari ilmu bisa dijadikan pedoman agar tidak ke jalan tersesat.
Kehadiran ilmu juga menjadi pondasi dalam membentuk kebahagiaan. Manusia akan menikmati kehidupannya baik saat di dunia maupun di akhirat kelak.
Setiap manusia biasanya akan dituntun untuk nenanamkan keimanan bahwa mereka harus memberikan pengakuan iman kepada Tuhan. Selama di kehidupan harus menerapkan berbagai ajaran yang tertuang pada masing-masing kepercayaan agamanya.
Istilahnya, manusia seperti baru lahir di dunia dan harus menerapkan kewajiban selayaknya menyembah Tuhan. Keberadaan ilmu mampu menjadi pondasi kuat pembekalan mereka.
"Kalau bahasa saya itu pembuka lawang, tanda dua kalimat syahadat," kata Nanang.
Pengamalan ilmu di teras pertama ini akan tersaji sejumlah peninggalan batu yang tidak biasa. Ada sejumlah cluster susunan batu di pintu masuk, Batu Gamelan, Batu Kecapi, tempat pemujaan meskipun terlihat seperti tempat diskusi yang dilihatkan dengan pintu dan ruangan rapat hingga sebuah Batu Dolmen
Yang paling unik tersohor pada "Batu Gamelan" biasa dikenal secara umum "Batu Musik". Batu ini berukuran panjang dan memiliki lima nada apabila diketuk oleh manusia.
Bahwasanya lima nada ini ibarat bekas dari lima jari manusia. Dan keunggulan dari Batu Gamelan sangat berbunyi nyaring saat diketuk dengan satu jari manusia. Alunan nadanya bisa menghasilkan suara musik dan bernada indah.
Teras kedua akan menyajikan gundukan batu memiliki ukuran bervariasi di masing-masing batu yang tersusun. Susunan batu ini ibarat berbentuk turap seperti lereng gunung.
Dinding seperti lereng ini memiliki makna mendalam apabila dihubungkan dengan konsep agama. Nanang menyebutnya seperti arti "bersujud".
Berdasarkan hasil survei secara langsung, dinding turap terletak di bagian sisi timur teras kedua Situs Gunung Padang terlihat lebih tinggi daripada di sisi barat.
Dinding turap ini mempunyai ukuran sisi utara sebesar 35,40 meter, sisi barat 5 meter, sisi selatan 29,5 meter, dan sisi timur hanya 12 meter.
"Ada Bukit Masigit, ibaratkan tempat bersujud tapi bukan seperti shalat," terang kuncen Gunung Padang itu.
Gundukan batu ini seperti membentuk layaknya bukit atau gunung karena semakin tertumpuk ke atas yang akhirnya dinamai Bukit Masigit.
Jika mengacu pada agama Islam, tempat ini bentuk memulai perjalanan manusia yang sebelumnya berusaha menyerap ilmu sebagai langkah awal hidup.
Setiap manusia harus berTuhan dan teras kedua ini untuk membuat mereka melakukan sesuatu melalui sujud, sebagaimana untuk menyembah Yang Maha Esa.
"Semua agam pasti (diperintahkan) bersujud, sama aja kan," ucap dia.
Ada pun Bukit Masigit dari tumpukan batu ini, masyakat memberikan nama istilah dengan sebutan "Mahkota Dunia". Kebetulan ada pohon besar menjulang tinggi di tengah-tengah gundukan bebatuan berukuran besar tersusun seperti bukit.
Pohon tinggi ini mempunyai dua betang berdiri kokoh yang memunculkan sebutan "Ki Menyan" dan "Hamirung". Dalam filosofi dari pohon ini tumbuh berdiri tegak menunjukkan kegagahannya tetap kokoh dan memiliki wibawa.
Bagi orang yang hendak menaiki gundukan batu ini harus melepas alas kaki dan bisa menikmati pemandangan sekaligus mengaplikasikan arti sujud dalam penerapan konsep ilmu.
Teras ketiga di situs peninggalan zaman megalitikum ini mempunyai orientasi khusus yang terletak di antara hamparannya. Terdapat dua batu peninggalan konon katanya memiliki ceritanya masing-masing.
Ada dua cluster bebatuan yang mempunyai denah tersirat makna di dalamnya, yakni ada "Batu Tapak Maung" dan "Batu Tapak Kujang".
Dua batu ini menyimpan makna jika mengacu pada konsep agama dengan istilah "berbagi". Sebagai manusia, kata Nanang, harus mempunyai rasa kasih sayang terhadap sesama.
Kodrat manusia memberikan kenyamanan, kepedulian, dan kebahagiaan untuk seluruh ciptaan-Nya di bumi, sebagaimana manusia dinobatkan makhluk sosial yang saling tolong-menolong terhadap sesama.
"Itu berbagi, nah kalau kita lihat nyamannya itu ke sana (Selatan tertuju bentangan gunung), kalau ke Utara itu enggak jelas," tegasnya.
Menurut Nanang, manusia harus memerlukan dua hal. Pertama, tetap mencari keberadaan Tuhan sebagai makhluk diciptakan untuk menyembah kepada Yang Maha Kuasa. Kedua, menjauhi sifat sombong selayaknya manusia berukuran kecil tanda tidak ada yang merasa besar.
"Kita harus menengok ke atas kita dan kita juga wajib menengok ke bawah. Misalnya kalau dalam agama Islam itu zakat atau kasih sayanglah," tuturnya.
Batu Tapak Maung ini, berada di tepi bagian timur teras ketiga yang konon katanya, Nanang berpendapat tempat singgasana Eyang Prabu Siliwangi.
"Tapak Maung itu ada lima bulatan terlihat seperti tangan. Manusia dulu kan diyakini besar-besar ukurannya dan itu serupa dengan bentuk tangan," paparnya.
Kemudian, di bagian bawah depan Batu Tapak Maung ada sebuah batu berukuran kecil dan berbekas tempat tusukan tongkat. Nanang mengatakan bentukan bulat itu bekas tongkat Prabu Siliwangi atau leluhur sebelum-sebelumnya.
Kemungkinan orang yang berdiam di situ tengah berdoa tanda untuk memberikan kasih sayang melalui "tapa berata". Bentukan ini memunculkan filosofi saling berbagi jika mengacu pada agama.
Ada pun Batu Tapak Kujang ini memperlihatkan batu bekas pahatan yang persis dengan bentukan kujang. Itu diyakinii bahwa manusia harus punya pendirian pada prinsipnya setelah mengungkap janji.
Teras keempat tidak memperlihatkan begitu banyak sebaran batu kolom yang tersebar di area berukuran di sisi utara sebesar 17 meter, sisi selatan 18,5 meter, sisi timur 18 meter, dan sisi barat 17,5 meter.
Namun, terdapat satu batu berdiri kokoh yang sangat mencolok dinamai "Batu Kanuragan" diibaratkan seperti Batu Lingga melambangkan kesuburan.
"Kenapa yang empat kosong? Yang ada batu pemujaan di angkat, itu orang melihat ke fisiknya," tutur Nanang.
Konon katanya, bagi masyarakat berhasil mengangkat Batu Kanuragan akan memperoleh segala hajat. Bahkan dahulu kala ramai-ramai berusaha ingin menunjukkan kemampuannya karena kolom batu ini mempunyai khas sarana pemujaan dari perspektif agama Hindu.
"Katanya kalau diangkat itu apa segala keinginan yang disampaikan akan tercapai," terangnya.
Dalam perspektif agama Islam, teras keempat akan sebagai sarana mengaplikasikan, mempraktikkan, dan sarana menumpahkan segala sesuatu telah didapat dari perjalanan sebelumnya.
Area ini berhubungan dengan upaya seseorang berusaha memenuhi kesempurnaan keimanannya atas usaha mencari-cari keberadaan ilmu guna bekal mereka hanya berpasrah diri.
Teras kelima akan menyajikan sebuah tempat terdiri dari beberapa kolom batu tersusun, seperti tempat tidur, doa, dan singgasana. Nanang menyebutnya "Tempat Singgasana" atau "Putri Bungsu" dalam cerita terbaru terhubung dengan Eyang Prabu Siliwangi dan leluhur berdoa. Posisi cluster batu Singgasana terbentang di antara timur-barat di area selatan.
Kemudian, ada tiga cluster batu lainnya di sebelah selatan dari timur-barat dinamai "Eyang Perbuka", "Batu Pandaringan", dan "Eyang Paraji Sakti".
Nanang menegaskan halaman ini akan menimbulkan kesejukan, kenyamanan, dan kedamaian yang didapatkan di sini. Bahwasanya manusia hanya berpasrah diri atas usaha sebelumnya.
"Kalau yang kelilma itu pengamalan, mengaplikasikan. Ibaratnya puasa, nah itu nahan hawa nafsu dari amarah," katanya.
Manusia akan memperoleh kesempurnaan selayaknya pencapaian jerih payah dalam perjalanan untuk mencapai tujuan hidupnya. Ini menandakan seperti perjuangan yang tidak sia-sia selama di kehidupan.
"Kelima itu tempat tertinggi, istilahnya empat sehat lima sempurna. Artinya kesempurnaan, jadi tempat berserah diri apa yang kita lakukan, artinya kita menikmati hasil karya," bebernya.
"Kalau kita mengerjakan kebaikan-kebaikan itu enggak ke mana, jaminannya surga," sambungnya menutupkan.
Dalam cerita dari Batu Singgasana ini menandakan tempat berdoa. Terlihat di bagian batu agak berdiri terdapat bekas kepala yang bersujud berbentuk bulat diyakini leluhur berserah diri kepada-Nya.
"Konsepnya setelah sujud, kita hormat kepada ayah dan ibu, itu konsep doa balik badan menghadap ke Gede-Pangrango," tandasnya.
(hap)
Load more