Sebagai gambaran, Al-Qur’an adalah mukjizat yang terjaga sepanjang masa dari segala pengubahan, serta lafadznya dan seluruh isinya sampai taraf hurufnya, tersampaikan secara mutawatir.
Al-Qur’an tidak boleh diriwayatkan maknanya saja. Ia harus disampaikan sebagaimana adanya. Berbeda dengan hadits Qudsi, yang bisa sampai kepada kita dalam hadis yang diriwayatkan secara makna saja.
Dalam madzhab Syafi’i, mushaf Al-Qur’an tidak boleh dipegang dalam keadaan berhadats kecil, serta tidak boleh dibaca saat berhadats besar. Sedangkan pada hadis Qudsi, secara hukum, ia boleh dibaca dalam kondisi berhadats. Selain itu Hadits Qudsi tidak dibaca saat salat, berbeda dengan Al - Quran yang menjadi kewajiban untuk dibaca saat sedang mendirikan salat.
Tak hanya itu, lafadz dan makna Al-Qur’an sudah diwahyukan secara utuh kepada Nabi Muhammad, sedangkan lafaz hadits qudsi bisa hanya diriwayatkan oleh para periwayat secara makna.
Di antara buku yang paling masyhur mengenai Hadits Qudsi adalah kitab Al-Ithâfât as-Saniyyah Bi al-Ahâdîts al-Qudsiyyah karya 'Abdur Ra`uf al-Munawiy. Di dalam buku ini terkoleksi 272 buah hadits.
Sebenarnya Hadits Qudsi tidak pernah dibukukan (dikodifikasi) secara resmi, sebagaimana Al Qur'an yang dibukukan secara resmi pada zaman Khalifah Utsman dengan nama Al Qur'an Mushaf Utsmani.
Hal ini karena sifat Hadits Qudsi yang diketahui individu - individu sahabat nabi tertentu dan disampaikan lewat mulut ke mulut. Karena "isinya" yang tinggi, Hadits Qudsi tercecer hanya pada sahabat-sahabat khusus saja, yang menyimpannya bagi dirinya sendiri dan kemudian menurunkannya pada orang-orang tertentu pula.
Load more