tvOnenews.com - Bulan Ramadhan memiliki dua pesan penting yang sebaiknya diketahui oleh setiap muslim. Dua pesan tersebut terkait keimanan dan iḫtisâban atau berharap pahala dari Allah SWT.
Diketahui, penjelasan dari pentingnya puasa tercantum dalam sebuah hadits Abu Hurairah, yang isinya:
Rasulullah bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa masa lalunya akan diampuni.”
Dari hadits tersebutlah dikatakan bahwa puasa di bulan Ramadhan memiliki dua pesan penting, seperti yang dikutip dari NU online.
Pesan tersebut yakni terkait îmânan (keimanan) dan iḫtisâban (berharap pahala dari Allah).
Diksi îmânan (keimanan), memberikan pesan penting bahwa fondasi ibadah puasa ini dilandasi dengan keimanan.
Dalam buku Syarah Sahih al-Bukhari, juz 04, h. 21 dan 30, dijelaskan bahwa keimanan membuat seseorang meyakini (i’tiqâd) dan membenarkan (tashdîq) dengan sepenuh hati serta ibadah puasa ini merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh Allah. Hal ini disampaikan oleh Ibnu al-Mundzir, sebagaimana dikutip Ibnu Baththâl.
Artinya, dengan adanya fondasi keimanan, puasa akan dijalani dengan penuh kesadaran atas kewajiban, dan keyakinan atas kewajiban tersebut.
Tanpa ada keimanan, bisa jadi puasa yang dilakukan hanyalah sekadar tradisi “guyub” karena membersamai keluarga, tetangga, atau teman yang sedang menjalani puasa. Bahkan hanya sekedar “ikut-ikutan” semata, tanpa ada kesadaran dan keyakinan dari internal pribadi.
Namun dengan adanya fondasi keimanan, seseorang akan melakukan perbuatan ibadah puasa secara sadar atas kewajiban dan ketertundukan pada Allah, sekaligus puasanya menjadi penanda atas keimanan seseorang semakin kuat.
Puasa yang dilakukan atas dasar keimanan juga akan menjadi bentuk aktualisasikan kepercayaan dalam hati ke dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Sementara, diksi kedua yakni iḫtisâban bermakna halab al-thawâb min Allah yang berarti mencari pahala dari Allah.
Ibnu Hajar al-Asqalani (Fathul Bari Sarh Sahih al-Bukhari li Ibn Hajar, juz 4, h.115), selain mengutip makna tersebut, juga menyampaikan pendapat al-Khaththâbi tentang iḫtisâban, yang isinya yaitu:
اِحْتِسَابًا أَيْ عَزِيْمَةٌ وَهُوَأَنْ يَصُوْمَهُ عَلَى مَعْنَى الرُّغْبَةِ فِي ثَوَابِهِ طَيِّبَةِ نَفْسِهِ بِذَلِكَ غَيْرَ مُسْتَثْقِلٍ لِصِيِامِهِ وَلَا مُسْتَطِيْلٍ لِأَيَّامِهِ
Artinya, “Iḫtisâb itu berarti tekad yang kuat, yakni seseorang berpuasa atas dasar kecintaannya pada pahala yang terkandung di dalam puasa Ramadhan, (juga atas dasar) kebaikan dirinya dengan tanpa merasa terbebani atas puasa dan tak merasa terlalu panjang hari-hari puasanya.”
Ihtisâb melatih kita untuk melakukan ibadah dengan ringan hati dan perasaan syukur. Syukur atas karunia dan kandungan yang ada di dalam bulan Ramadhan, dan syukur atas takdir Allah yang memberikan kita kesempatan untuk menjalani ibadah puasa.
Ihtisâb juga menjadikan kita semakin menyadari bahwa pengharapan atas apresiasi dan pahala puasa kita mesti tetap dan selalu bersandar pada Allah, wa yanwî bi shiyâmihî wajhallâh (seseorang hendaklah berniat karena Allah atas puasa yang dilakukan), kata Ibnu Baththâl. Bukan bersandar atas apresiasi pimpinan, keluarga, kolega, atau tetangga, yang justru bisa menjadikan kualitas ibadah kita menurun. Dari sini kita semakin memahami makna hadits Qudsi bahwa “Puasa adalah untuk-Ku (Allah) dan Aku yang akan memberi balasan” (al-Bukhari nomor 1894, Muslim nomor 2764).
Kedua pesan penting ini amatlah perlu untuk selalu diselaraskan dan direfleksikan kembali dalam setiap rutinitas amal ibadah sehari-hari, terutama terkait dengan puasa di Bulan Ramadhan.(put)
Load more