Sebagai negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Indonesia mejadi salah satu negara yang sangat antusias untuk menyambut bulan suci Ramadhan disetiap tahunnya. Namun masing-masing setiap daerah di Indonesia ternyata memiliki budaya atau kebiasaan yang unik untuk meramaikan momen bulan suci Ramadhan 1443 Hijriah.
Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa. Lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa. Akan tetapi Perbedaan suku dan budaya tidak menjadi penghalang bagi masyarakat Indonesia untuk merayakan datangnya bulan suci dengan keunikannya. Seperti semboyan Bhineka Tunggal Ika yang memiliki arti walaupun berbeda-beda, tapi tetap satu.
Apa saja ya tradisi-tradisi unik yang terdapat di negara Indonesia tercinta ini? berikut, beberapa tradisi unik yang menyita perhatian untuk mengetahuinya lebih jauh lagi.
Kegiatan Nyorog di masyarakat Betawi telah ada sekitar ribuan tahun lalu. Nyorog merupakan, kegiatan berbagi bingkisan dengan saudara maupun tetangga. Kegiatan ini dilakukan sebagai tanda penghormatan.
Karena itu biasanya yang melakukan pembagiannya adalah anak muda atau pasangan muda. Bingkisan ini biasanya diantarkan kepada anggota keluarga yang lebih tua, tokoh daerah setempat dan orang tua atau mertua yang sudah tinggal berbeda rumah.
Bingkisan yang diberikan sangat beragam. Di dalam bingkisan biasanya, terdapat sembako berupa beras, telur, gula, garam. Namun ada juga yang memberi aneka masakan khas Betawi, semacam gabus pucung, sayur babanci, soto tangkar, soto Betawi dan masih banyak lagi.
Nyorog berawal dari sebuah peristiwa yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat terkait peristiwa alam. Konon katanya, kegiatan ini merupakan pesan pembelajaran yang melibatkan manusia, lingkungan, dan kepercayaan kepada Allah SWT.
Di wilayah Aceh, ternyata mengonsumsi daging sapi atau kerbau menjadi hal yang diwajibkan setiap 1 atau 2 hari menjelang Ramadhan. Rasanya seperti tidak lengkap apabila dalam menyambut puasa tidak ada menu makanan yang berbahan dasar daging tidak tersaji di meja makan rumah para masyarakat.
Harga daging yang terus melonjak sepertinya bukan jadi masalah untuk masyarakat Aceh. Karena untuk menyelenggarakan kegiatan ini, para masyarakat berpatungan untuk membeli beberapa ekor sapi. Kemudian masyarakat menyepakati untuk menyembelihnya secara gotong royong.
Masyarakat yang ikut berpatungan nantinya berhak mendapatkan 2 kilogram daging ditambah beberapa tulang yang masih berdaging. Selain itu, hasil penyembelihan daging sapi juga diberikan kepada kaum kurang mampu dan beberapa anak yatim, piatu yang terdapat di wilayah tersebut.
Tradisi ini bertujuan untuk mengumpulkan warga sekitar sehingga, bisa terus menjalin tali silahturahmi dan saling bermaaf-maafan sebelum puasa tiba tradisi ini merupakan salah satu warisan budaya masyarakat Aceh yang di dalamnya, mengandung berbagai nilai luhur dan diharapkan dapat terus dilestarikan untuk anak cucu dikemudian hari.
Tradisi Munggahan yang berasal dari suku Sunda, Provinsi Jawa Barat ini berasal dari bahasa Sunda yaitu "unggah" yang berarti naik. Secara istilah, Munggahan dapat diartikan naik ke bulan suci atau tinggi derajat. Karena itu unggahan dapat diartikan sebagai prosesi penyambutan bulan puasa yang penuh kemuliaan. Sehingga umat Muslim akan merasa bahagia dan dinaikkan derajatnya pada bulan ini.
Penyebutan Munggahan juga berbeda-beda pada beberapa daerah. Contohnya seperti, masyarakat Bandung lalu Kabupaten Cianjur, Sukabumi dan Purwakarta yang menyebut Munggahan adalah Papajar. Berbeda dengan Bogor, di daerah ini Munggahan disebut dengan istilah Cucurak.
Dalam kegiatan Munggahan ini biasanya menjadi momen berkumpulnya keluarga besar, saudara, dan teman untuk melakukan makan bersama sambil bermaaf-maafan. Selain itu juga untuk memanjatkan doa bersama berserta berziarah ke makan orangtua atau yang sering dikenal dengan istilah nyekar.
Munggahan bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur dan bahagia atas nikmat serta kesehatan yang Allah SWT berikan. Sehingga dapat mempertemukan umatnya kembali kepada bulan suci Ramadhan.
Budaya Indonesia begitu banyak ragam. Khususnya, kepada masyarakat negeri ini dalam menyambut bulan Ramadhan. Namun begitu, apapun perbedaan nama, penyebutan atau prosesinya tetap memiliki makna dan arti yang sama. Setiap tradisi merupakan budaya turun temurun yang mau tidak mau harus dipertahankan oleh setiap generasinya.
Melestarikan dan mewariskan suatu tradisi adalah kewajiban para generasi penerus agar sebuah kebudayaan tidak tergerus oleh waktu dan pengaruh globalisasi sekaligus modernisasi yang ada. (ayu)
Load more