Idul Fitri 1443 sudah di depan mata. Umat muslim yang diberikan kemampuan mulai membayarkan zakat fitrahnya kepada lembaga maupun individu - individu terdekat.
Baginda Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa zakat fitrah atau sadaqat al-fitr ini sebaiknya dikeluarkan sebelum dilaksanakannya salat Ied. Hal ini juga diartikan bahwa sebaik - baik zakat fitrah adalah yang dikeluarkan di akhir bulan suci Ramadhan.
Bagi orang yang lahir, tumbuh, dan mencari nafkah di kota yang berbeda mungkin tak ada perbedaan pendapat. Namun timbul pertanyaan bagi para perantau yang mencari nafkah di kota bahkan negara lain, bolehkah mengeluarkan zakat di luar domisili muzaki?
Pertanyaan ini kian mengemuka utamanya karena saat ini para perantau mulai berbondong - bondong untuk mudik ke kampung halaman. Sebagian orang memilih berzakat di tempat ia bekerja namun sebagian lainnya memutuskan untuk berzakat di akhir Ramadhan di kampung halaman.
Dr. Armiadi Musa, MA (Dosen UIN Ar- Raniry/Mantan Kepala Baitul Mal Aceh) seperti dilansir dari laman baitulmal.acehprov.go.id mengatakan bahwa jumhur (mayoritas ulama) berpendapat zakat harus diberikan di tempat seseorang berdomisili atau tempat mencari nafkah.
Dalam kitab Asnal Matholib Syarh Rowdahuth Tholibin disebutkan mengenai masalah zakat harta (zakat maal). Zakat tersebut ditunaikan di negeri di mana harta tersebut berada, sedangkan untuk zakat fitrah ditunaikan pada tempat di mana seseorang bertemu Idul Fitri karena itulah sebab wajibnya zakat fitrah.
Pernah diriwayatkan oleh sekelompok ahli hadist bahwa ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah berkata kepadanya, “Jika mereka taat kepadaku, maka ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah SWT mewajibkan zakat kepada mereka dalam harta mereka. Diambil dari orang-orang yang mampu di antara mereka dan diserahkan kepada orang-orang yang fakir di antara mereka”.
Pendapat jumhur yang dimaksud di atas adalah Imam Syafi’i, Imam Maliki, dan Ahmad bin Hambal yang mengatakan ketidakbolehan membawa zakat ke negeri lain (bukan negeri muzaki), demikian juga jika dikiaskan dengan daerah lain (bukan daerah muzaki).
Namun menurut Mazhab Hanafi boleh zakat tersebut disalurkan ke daerah lain, namun jika didapati golongan penerima zakat atau sebagiannya ada di suatu wilayah maka wajib memberikan zakat kepada mereka baik wilayah itu luas maupun kecil, dan haram memindahkan zakat ke tempat lain alias tidak diperbolehkan kecuali dengan alasan tertentu antara lain alasan kekeluargaan dan memiliki keutamaan.
Pendapat Mazhab Hanafi kemudian dipilih oleh banyak ulama (ashab) dari kita khususnya ketika penyalurannya diberikan kepada keluarga dekat, teman atau orang yang memiliki keutamaan. Dan mereka berkata, dengan model seperti itu gugurlah kewajiban zakatnya.
Dengan demikian ketika zakat itu didistribusikan ke keluar daerah disertai mengikuti aturan yang terdapat dalam mazhab Hanafi itu diperbolehkan.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Sheikh Utsaimin (Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin) bahwa memindahkan zakat dari negeri orang yang mengeluarkannya ke negeri lain jika hal itu membawa maslahat maka hukumnya boleh.
Jika orang yang mengeluarkan zakat itu mempunyai sanak kerabat yang berhak menerima zakat di negeri lain dan zakat itu dikirim kepadanya, maka hukumnya tidak apa-apa (boleh).
Begitu juga jika standar hidup di negeri itu tinggi, lalu dia mengirimnya ke suatu negeri yang lebih miskin, hal itu juga boleh, tetapi jika tidak ada kemaslahatan dalam memindah zakat dari negeri satu ke negeri lain, maka sebaiknya tidak perlu dipindahkan.
Masalah ini jika kita analogi dari satu negara ke negara lain dibolehkan maka dari satu daerah ke daerah lain tentu juga dibolehkan jika ada maslahat di dalamnya.
Berdasarkan riwayat-riwayat ini para ahli fiqh berdalil bahwa zakat dibagikan kepada orang-orang fakir di negeri atau daerah muzaki. Mereka berbeda pendapat tentang hukum mengalihkan zakat ke negeri lain setelah mereka berijmak bahwa boleh hukumnya mengalihkan zakat ke negeri lain jika negeri tempat pengutipan zakat tersebut tidak membutuhkannya atau memang sudah surplus. Wallahu a’lam bish-shawab. (afr)
Load more