Selain itu, sejarah membuktikan betapa Islam menjunjung tinggi berbagai perbedaan. Seperti di lingkungan bangsa Arab sendiri, sikap kesukuan sangat tinggi, yang terdiri dari banyak kabilah. Satu di antaranya Nabi saw yang mampu bergaul dan berhubungan secara sosial dengan tetangganya yang beragama Yahudi di Madinah.
Selain itu, ada kisah nabi saw, di mana suatu kali ada seorang Yahudi meninggal dunia yang dibawa oleh para kerabatnya untuk dimakamkan. Pada saat yang sama, Nabi saw dan para sahabat sedang duduk-duduk hingga mengetahui ada jenazah orang Yahudi sedang lewat, Nabi saw kemudian berdiri sebagai tanda penghormatan.
Sementara dari berbagai sumber karya ilmiah, toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang ada dalam system teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat
dari sisi agama, suku, warna kulit, adat istiadat, dan sebagainya.
Kemudian, untuk makna toleransi dalam beragama adalah sebagai bentuk keterbukaan akan adanya agama-agama lain sealain agama Islam dan juga adanya perbedaan dengan agama-agama lain dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan, system dan cara beribadah agama masingmasing. Selain itu menjaga kerukunan antar umat bergama agar tercapainya kedamain antar sesama manusia.
Namun dalam ajaran Islam tidak diperbolehkan ridho ataupun ikut serta dalam peribadatan dan keyakinan orang-orang kafir. Hal itu juga sesuai dengan QS. AlKafirun: 1-6. Surat ini adalah surah pembebasan diri orang beriman dari perbuatan orang-orang musyrik dan surah yang memerintahkan orang beriman untuk membebaskan diri dari perbuatan orang-orang kafir.
Setidaknya dari surat Al-Kafirun terdapat konsep sikap toleransi dalam Islam. pertama, tidak diperkanankan selain umat muslim untuk beribadah sebagaimana umat muslim. Kedua, orang Islam dilarang beribadah sebagaimana ibadah dan ritual yang dilakukan oleh umat lain selain Islam dalam hal keagamaan.
Ketiga, bahwa dalam berkeyakinan itu sesuai dengan pilihan dan panggilan hati nurani masing-masing dan itu berurusan dengan
keyakinan masing-masing.
Demikian pula Ibnu Abi Hatim meriwayatkan telah berkata bapakku
dari Amr bin Auf, dari Syuraih, dari Abi Hilal, dari Asbaq ia berkata, “Aku dahulu adalah abid (hamba sahaya) Umar bin Khaththab dan beragama nasrani. Umar menawarkan Islam kepadaku dan aku menolak. Lalu Umar berkata: laa ikraha fid din, wahai Asbaq jika anda masuk Islam kami dapat minta bantuanmu dalam urusan-urusan muslimin”
Load more