Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) resmi mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan pemecatan 51 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinyatakan tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Menurut MAKI tindakan pimpinan KPK yang serta merta memberhentikan pegawai KPK yang tidak lolos tes adalah tindakan diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Padahal kandungan putusan MK dalam uji materi sebelumnya menyatakan bahwa alih status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai KPK. MAKI juga berharap pemberhentian 51 pegawai KPK tidak dilakukan sebelum amar putusan MK terhadap uji materi dikeluarkan.
Sebelumnya KPK pada Rabu (5/5) lalu mengumumkan sebanyak 75 dari total 1.349 orang yang mengikuti tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) tak lolos atau dinyatakan tidak memenuhi syarat. Beberapa nama di antaranya menduduki jabatan direktur, kepala bagian, penyelidik, dan penyidik. Ada pun beberapa tokoh antirasuah yang tidak lolos tersebut seperti Sujanarko, Harun Al Rasyid, Giri Suprapdiono, hingga Novel Baswedan.
Dalam wawancara bersama tvOne, Saor Siagian selaku pegiat antikorupsi bahkan menuding pimpinan KPK saat ini yakni Firli Bahuri sebenarnya memiliki agenda tertentu.
"Kalau dia lembaga non-departemen, yang berkaitan dengan pegawai di sini bukan komisioner, tapi sekjen. (Sedangkan) sekjen tak pernah dilibatkan. Inilah yang kita bilang sejak awal, Firli itu sudah punya agenda 'nama ini, nama ini' harus segera disingkirkan," tegasnya.
Sementara itu, Kepala Staf Presiden, Moeldoko menyatakan alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara merupakan komitmen Pemerintah dalam menjaga KPK agar bisa terus bekerja maksimal dalam upaya pemberantasan korupsi. Menurut Moeldoko, presiden Jokowi menyerahkan mekanisme alih status tersebut kepada pimpinan KPK bersama KemenPAN-RB dan BKN dengan tidak merugikan hak-hak pegawai KPK.
Tes wawasan kebangsaan ini merupakan bagian dari asesmen alih status pegawai KPK ke ASN sebagai konsekuensi disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Lantas, dengan dinamikanya saat ini, bagaimana nasib 51 pegawai yang diberi label 'merah'? Dan akan dibawa ke mana lembaga yang berada di garda terdepan pemberantasan korupsi ini?